Blog

Mahkota Hijau untuk Ratu Jogja

Mahkota Hijau untuk Ratu Jogja
Oleh : Nur Amalia K

Pertumbuhan penduduk di welfare state seperti di Indonesia menuntut pemerintah untuk melakukan pemerataan kesejahteraan masyarakat salah satunya melalui pembangunan. Namun, pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan lingkungan hidup tempat segala aktifitas masyarakat dan pembangunan itu sendiri menjadi terdegradasi dan berkurang kualitasnya. Inilah yang terjadi di kota Yogyakarta sebagai salah satu kota yang dipadati oleh kalangan masyarakat diberbagai golongan. Tuntutan akan tempat tinggal dari padatnya masyarakat memaksa pemerintah daerah melebarkan wilayah pembangunan, hal tersebut mengikis wilayah hijau yang sebelumnya ada. Maka dari itu , pembangunan tersebut harusnya diimbangi dengan menyertakan Ruang Terbuka Hijau seperti dibangunnya hutan kota pada suatu kawasan. Sebelumnya, apa yang dimaksud Ruang Terbuka Hijau? Apa hubungannya dengan hutan kota? Seberapa pentingkah untuk kehidupan masyarakat? Ruang Terbuka Hijau merupakan bagian dari ekosistem dalam kehidupan masyarakat sehingga keberadaannya sangat diperlukan oleh penduduk kota. RTH ini dapat diwujudkan dengan membangun hutan kota. Hutan dan kota ibarat dua kutub yang berseberangan, dua kawasan yang selalu sulit disatukan di dalam fenomena pembangunan dewasa ini, dimana hutan lebih mengarah kepada konservasi sedangkan kota lebih mengarah kepada ekspansi (perluasan daerah). Melalui hutan kota, keduanya merentangkan benang merah dalam pembangunan yang berazas kelestarian, hal tersebut yang menjadi jawaban atas tuntutan dan tantangan ruang dan waktu yang dihadapi. Hutan kota sendiri dapat mendayagunakan sumberdaya lahan (tapak) menjadi lebih potensial sehingga mampu mengendalikan dan melerai segala bentuk penyebab krisis lingkungan fisik perkotaan. Krisis lingkungan fisik berupa berkurangnya kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara, sebagai akibat banyaknya jalan beraspal, betonan, bangunan bertingkat/apartmen. Hadirnya hutan kota sebagai mahkota hijau di daerah perkotaan dapat memodifikasi atmosfer dan lingkungan fisik sekitar dan kenyamanan kembali tercipta. Hutan kota merupakan salah satu bentuk dari Ruang Terbuka Hijau. Pengadaan RTH termaktub dalam Undang-undang No.26 Tahun 2008 berisi penetapan ruang yang mengatur salah satunya mengenai Ruang Terbuka Hijau yang dapat dijadikan tolok ukur indikator kesehatan warga kota dan bersifat penting. Mengacu pada`peraturan tersebut, idealnya sepertiga dari suatu wilayah kota/kawasan diantaranya merupakan kawasan hijau yang nantinya di seputaran lapangan tersebut akan dihijaukan dengan ditanami pohon-pohon disekitarnya. Oleh karena itu, dengan adanya hutan kota yang diupayakan mampu menghijaukan lahan dengan memanfaatkan sekecil apapun lahan kosong yang masih ada. Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Indonesia dinilai menyedihkan karena semakin tergusur oleh arus pembangunan, tergusur dengan adanya gedung bertingkat di setiap daerahnya. Hal ini jelas tidak sesuai seperti apa yang diharapkan yakni agar tercipta sepertiga dari total luas kota/kawasan untuk dijadikan daerah penghijauan. Lalu ada saja yang menambah penuhnya Yogyakarta yaitu pemanfaatan RTH yang nampaknya masih mempunyai makna pelengkap ataupun sebagai penyempurna bagi perkotaan, sehingga pemanfaatan lahan untuk RTH hanya dianggap sebagai penambah estetika lingkungan. Lebih parahnya RTH (hutan kota) dianggap sebagai cadangan untuk penggunaan lahan di masa datang. Terkait dengan peran masyarakat terhadap pembangunan hutan kota saat ini hampir tidak teridentifikasi. Bayangkan saja, lahan yang akan digunakan untuk ditanami pepohonan dalam konsep Ruang Terbuka Hijau atau bahkan lahan kosong pun jarang ditemukan di perkotaan ini. Semakin tergerusnya kenyamanan hidup, masyarakat lambat laun akan sadar mengenai hal ini. Iklim mikro atau asmosfer dan lingkungan fisik yang seharusnya ada, tertelan perlahan-lahan oleh pembangunan yang kian membumi. Oleh karena itu, solusi selanjutnya adalah dengan adanya realisasi dari tuntutan masyarakat terkait pentingnya pembangunan hutan kota yang tujuannya hanya satu, mengembalikan Yogyakarta menjadi nyaman. Akhir kata temukan jawaban yang lebih konkrit pada Talkshow Interaktif “Urgensi Hutan Kota, Jogja Krisis O2” pada 15 Mei 2016 di Auditorium Fakultas Kehutanan. Pendaftaran bisa menghubungi 085272717225 (Dikey).

Departemen Kajian Strategis
-LEM FKT UGM 2016-
#Juang
#SiapSemangat

Read More

Sini yang Praktikum, Situ yang Kena Deadline

Sini yang Praktikum, Situ yang Kena Deadline

Oleh : Mahasiswa musiman yang ikut 2 Mei kemarin
Malam sebelum aksi, Bu Dhe Rektor yang sedang on air di singgah sana swaragandul mengatakan bahwa esok akan ada praktikum latihan politik praktis. Pernyataan Bu Dhe sungguh lucu, krik. Kami geram, kami tegaskan bahwa aksi ini bukan simulasi, sekali lagi bukan simulasi.
Ini tulisan ringan, serius. Ditulis berdasarkan pengalaman praktikum dan aksi 2 Mei kemarin, adanya seperti ini
Dasarnya saya sendiri, mungkin agak geram ketika mendengar kata praktikum, oke kita buktikan kalau ini bukan praktikum. Pertama, tidak ada pretest. Kalau ada pastilah saya kikuk, karena tidak tau materi apa praktikum kali ini dan gak semua mahasiswa mengambil mata kuliah demonstrasi, orasi atau semacamnya. Kalaupun materi praktikumnya adalah 3 isu tuntutan kemarin, pastilah nilai pretest saya jeblok (Saya baru baca tuntutan aksi pas mobilisasi masa ke Gedung Pusat. Otokritik : pahami dulu masalahnya, baru nyemplung aksi biar “kongkrit” kalo bahasa Netizen Budiman). Doesn’t make sense sih kalo gak ada pretest, tapi mungkin diganti posttest, tapi sampai akhir waktu pun gak ada posttest.
Ini 3 isu yang dibawa sebagai tuntutan aksi, buat yang belum baca
Tuntutan Tenaga Kependidikan untuk pencairan Tunjangan Kinerja. Menuntut kepada pimpinan Universitas untuk merealisasikan hak Tenaga Kependidikan selama 3 semester bukan hanya 2 bulan dan menuntut UGM melepas status Badan Hukum.
Tuntutan Pedagang Kantin Sosio Humaniora yang direlokasi walaupun keputusan masih “open” karena dikeluarkannya SP2 sepihak. Menuntut pencabutan SP2 dan menuntut dikeluarkannya SK Renovasi Kantin Sosio Humaniora, Kantin Kerakyatan Universitas Gadjah Mada.
Tuntutan perbaikan sistem UKT. Menolak kenaikan UKT 2016 dari tahun sebelumnya. Menolak penerapan Uang Pangkal bagi mahasiswa jalur mandiri. Menuntut adanya penundaan pembayaran UKT serta mekanisme penyesuaian UKT baik temporal maupun permanen di seluruh fakultas yang selanjutnya diatur dalam SK Rektor. Menuntut range penghasilan yang sama dalam penggolongan UKT dengan mempertimbangkan jumlah tanggungan keluarga. Menolak pemberlakuan sistem UKT bagi mahasiswa S1 diatas semester 8 dan bagi mahasiswa D3 diatas semester 6. Menuntut UGM menganggarkan beasiswa PPA-BBP dari BOPTN tahun anggaran 2016 atau mengadakan pengganti beasiswa PPA-BBP minimal dengan kuota yang sama.
Oke lanjut yang kedua. Ditengah berjalannya praktikum, kami tidak melihat koas ataupun asisten praktikum yang tugasnya membimbing praktikannya. Bu Dhe Rektor di metrotivi mengatakan “Ini adalah simulasi untuk demo karena apa disitu para pembimbing sedang mengawasi lalu mereka itu mengevaluasi” (Saya usahakan mengutip persis apa kata Bu Dhe). Kalau ini praktikum, jelas semua kegiatan dilakukan secara prosedural dan tertib, kalau tidak maka akan diarahkan atau mendapat peringatan dari asisten praktikum. Tapi kegiatan teman-teman kemarin menurut saya bukan merupakan step by step prosedur seperti langkah kerja praktikum. Bu Dhe yang sulit diajak turun tentunya memaksa negosiator untuk mengimprovisasi yang lebih kepada spontanitas dan gak ada dalam prosedur, lalu mengapa kami tidak diingatkan? Mengapa kami tidak dievaluasi di tempat?
Yang ketiga, Bu Dhe Rektor selaku fasilitator yang mengakomodasi praktikum kemarin sempat mutung (Saya kurang tau, pas kejadian saya sedang makan). Dengar-dengar Beliau marah karena dibelakangi peserta praktikum dan karena suaranya sebagai Ibu tidak diperhatikan. Saya bingung, ini konteksnya praktikum atau happy family, kebingungan saya terletak pada timbal balik antara asisten praktikum dengan praktikan atau antara ibu dengan anaknya. Jelas keduanya berbeda secara tata krama. Dari awal Bu Dhe mengatakan ini praktikum, jelas beliau dengan kami adalah hubungan antara asisten prakitkum dengan praktikan yang bisa dibilang sopan santunnya gak ada tapi tetap menghormati, patuh pun karena kita diancam nilai. Lalu tiba-tiba Bu Dhe mengatakan “Saya selaku Ibu akan mendengarkan keluhan anak-anaknya” jelas dari sini kami dipaksa tunduk dengan norma antara Ibu dengan anak, ini akan sedikit memborgol kami. Saya pun enggan mengatakan sebagai Ibu, tulisan saya sedari tadi mengatakan Bu Dhe, bukan Ibu.
Setelah Bu Dhe reda dari mutungnya dan menemui kembali kami sekitar pukul 17.00 WIB, Beliau memberikan jawaban kurang lebih seperti ini (Ini sepenangkapan saya)
Sejak 28 April sudah diputuskan pada 2016 ini UKT sama dengan 2015 dan tidak ada kenaikan serta tidak ada uang pangkal untuk mahasiswa jalur mandiri
Pada 29 April Bu Dhe telah menerima dan sangat mengapresiasi dokumen usulan yang isinya ada mekanisme penyesuaian UKT. Akan ada penyusunan mekanisme penyesuaian maupun penundaan UKT baik temporal maupun permanen di seluruh fakultas yang selanjutnya diatur dalam SK Rektor.
Tanggal 16 Mei akan ada keputusan UKT yang tidak berlaku pada mahasiswa sarjana semester 8 dan mahasiswa diploma dan profesi semester 6.
Tanggal 16 Mei akan diupayakan untuk beasiswa pengganti PPA-BBP dan bilangan jumlahnya.
Tanggal 16 Mei akan ada pemberitahuan hasil koordinasi dengan direktur maupun dekan fakultas perihal perubahan besaran UKT untuk mahasiswa 2014 di beberapa prodi, khususnya SV, Biologi, dan fakultas lain yang mempunyai besaran UKT tidak proporsional.
Tanggal 16 Mei 2016 akan dikeluarkan SK mekanisme penyesuaian dan pemindahan pedagang kantin Sosio Humaniora.
Sebentar, kalau kalian tau bagaimana tanggal 16 Mei tersebut tertulis, pastilah kalian heran (kalau saya kebetulan pas di tkp, saya ketawa ngakak). Deadline tanggal tersebut dilontarkan Bu Dhe kepada kami ketika Beliau di hadapkan pada suasana sore menjelang maghrib, kami yang sudah tak sabar, intinya sedang dalam suasana terdesak. Awalnya Bu Dhe menjawab dengan memberikan rentan waktu, namun kami merasa waktu tersebut terlalu lama, sehingga negosiator dari kami menawar waktu tengahnya dan Bu Dhe Rektor menyetujui. Menurut saya ini aneh, biasanya dalam praktikum, koas atau asisten praktikum yang memberi woro-woro mengenai deadline pengumpulan laporan praktikum, tapi ini malah kami yang memberi deadline kepada Bu Dhe supaya laporannya dikumpulkan 16 Mei 2016. Katanya kami yang praktikum, kok Bu Dhe yang kena deadline. Mungkin ini bukti terakhir kalau aksi 2 Mei kemarin bukan aksi simulasi atau praktikum seperti kata Bu Dhe. Inget Bu Dhe, 16 Mei besok ditunggu laporannya.
Itu saja dari saya, praktikumnya anak agro seperti itu, mohon maaf kalau gak masyuk. Terakhir saya berpesan, aksi tersebut murni, bukan simulasi atau malah praktikum demokrasi. Kami dan 2 Mei sebagai lambang komitmen bangsa untuk selalu memperbaiki pendidikan warga negaranya. Bicara mengenai pendidikan bukan hanya perkara pemerataan akses saja, pemerataan mutu juga. Bagaimana mutu bisa merata jika peralatan praktikum alakadarnya? Katanya UKT untuk pemeliharaan fasilitas praktikum juga.
Sekian. read more

Read More

Sadarkah Kita?

Sadarkah Kita?
Oleh : Nur Anisah U.

“Sadarkah kita, bahwa kita tinggal dibumi dengan segala keramahannya, tanpa harus bersusah payah untuk memperoleh kebutuhan, tak usah terlalu memeras keringat dan merogoh kocek terlalu dalam untuk menikmati keindahannya? tak sadarkah kita, bahwa bumi telah lelah dan merintih kesakitan oleh hal yang kita perbuat, ia menahan sakit dan sesekali hanya melontarkan kemarahannya, hanya sedikit. Ia menahan amarahnya untuk nanti, di hari dimana manusia diminta pertanggung jawabannya.” read more

Read More

Berawal dari Hal yang Diremehkan

Berawal dari Hal yang Diremehkan
oleh : Annisa Camelia I.

“Apa sih Earth Hour itu?”,
“Apa aja sih kegiatan Earth Hour?”
“Lah, matiin lampu sejam doang emang ada manfaatnya?”
Lontaran-lontaran menggelitik lagi sarkastik sangat sering singgah di telinga saya. Terlebih lagi, pertanyaan terakhir yang cukup retoris nan apatis. Sebelum melanglang buana lebih jauh lagi. Hendaknyakita ketahui dulu apa yang dimaksud dengan Earth Hour. Menurut Saya pribadi, Earth Hour adalah sebuah wadah atau gerakan yang digagas oleh World Wildlife Fund (WWF) yang notabene merupakan Organisasi Non Pemerintah (NGO) dengan fokus lingkungan hidup dan perselamatan satwa liar.
Menargetkan aktivis lingkungan hidup remaja, Earth Hour telah melakukan berbagai aksi kampanye lingkungan hidup yang ciamik dan kreatif. Salah satunya adalah Switch Off yang dilaksanakan pada Sabtu, 19 Maret 2016 pada pukul 20.30-21.30 WIB. Kampanye Lingkungan Hidup Kreatif yang digagas Earth Hour ini sebenarnya mempunyai dampak yang cukup signifikan untuk mengurangi perubahan iklim (Climate Change). Hal ini dibuktikan dengan banyaknya remaja di berbagai daerah di Indonesia yang menjadi volunteer dari Earth Hour.
Menanggapi pertanyaan terakhir, “Lah, matiin lampu satu jam doang emang ada manfaatnya?” Kawan, sesungguhnya hal yang kauremehkan mampu mengubah dunia menjadi lebih baik lagi. Bercermin pada peribahasa kondang Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, para penggagas Earth Hour telah menelurkan sebuah gerakan menyelamatkan bumi hanya dengan mematikan lampu satu jam saja. Ingin Saya tekankan lagi kepada seluruh remaja maupun khalayak diluar sana, isu Global Warming atau menghangatnya suhu di muka bumi yang merentet pada perubahan iklim (Climate Change) tidak dapat terelakkan lagi. Kita, yang diciptakan sebagai makhluk hidup yang diciptakan untuk peka terhadap lingkungan di sekitarnya hanya diamanahi untuk menjaga bumi dan seisinya ini demi kelangsungan hidup anak & cucu kita. Jadi, jangan sekali-kali meremehkan sesuatu yang kauanggap kecil dan mari berkontribusi!
#SwitchOff2016
#ChangeClimateChange read more

Read More

Satu Tahun Satu, Yakin?

Satu Tahun Satu, Yakin?

Sudah saatnya kita tahu akan kebijakan dan tata kelola kampus dimana sebagai mahasiswa yang menjadi pelopor pergerakan sebuah keadilan dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh para petinggi dan pemilik kewenangan, maka perlu sebuah transparansi yang nyata dan merata. Sebelum menmbahas lebih jauh lagi, sudahkah kalian tahu apa itu MWA?

MWA (Majelis Wali Amanat) adalah Organ tertinggi di Universitas yang berwenang menyusun dan menetapkan kebijakan umum bersama Senat Akademik (SA). Dapat diibaratkan MWA itu adalah Organ yang membangun sebuah sistem organ dimana komponen organ tersebut berupa kumpulan gen yang beragam dari berbagai kalangan. MWA ada karena memiliki fungsi yang krusial dan sangat berpengaruh terhadap UGM sendiri. Fungsi MWA sendiri antara lain : read more

Read More