Arsip:

Media dan Informasi

Buletin Forestry Magazine 2020

Buletin Forestry Magazine Edisi Mahasiswa Baru sudah terbit!

Yuk kenal lebih dekat dengan Fakultas Kehutanan dan apa saja yang ada didalamnya dengan membaca buletin ini, sekaligus supaya kamu lebih cinta dengan kampus kebanggan kita semua ini. Karena tak kenal maka tak sayang! klik link dibawah yaa😉✨

FORMAG untuk Mahasiswa Baru

atau baca disini tanpa mendownload

Tak Melulu Soal Kesehatan Fisik, Kesehatan Mental juga Perlu Dijaga di Era New Normal

Oleh : Julian Ariza Pradana dan Yustitia Rizki Halalia

Pandemi Covid-19 mengakibatkan berbagai dampak buruk yang membuat
kekhawatiran dan kecemasan pada setiap elemen masyarakat. Bagaimana tidak?
Pasalnya pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang kondisi kesehatan fisik seseorang,
tetapi juga melumpuhkan setiap lapisan sektor, baik itu sektor ekonomi, pariwisata,
agro dan lain-lain. Keadaan yang semakin mendesak mengharuskan pemerintah untuk
segera mengambil kebijakan penanganan Covid-19. Kebijakan tersebut yaitu seperti
Work From Home, Social Distancing atau Physical Distancing, karantina, penerapan
protokol kesehatan yang mewajibkan penggunaan masker, rajin mencuci tangan, dan
membawa hand sanitizer serta terdapat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB).

Semakin anjloknya perekonomian bangsa mendorong pemerintah untuk
membuat suatu kebijakan baru yang diberi istilah New Normal. New Normal
merupakan suatu kebijakan yang mengharuskan kita menerima keadaan untuk hidup
berdampingan dengan Covid-19, tujuannya untuk menggerakkan kembali roda
perekonomian. Contohnya ialah dengan melonggarkan PSBB di beberapa daerah dan
membuka kembali pusat perbelanjaan. Pada era New Normal, kita diizinkan untuk
melakukan aktivitas seperti biasanya, namun dengan mengindahkan protokol
kesehatan terkait Covid-19. Meski begitu, kita dianjurkan untuk tetap menjaga diri di
rumah dan meminimalisir kegiatan sosial. Pandemi yang tak kunjung usai dan
kebijakan yang membatasi individu berinteraksi di luar rumah tidak hanya
mengakibatkan hilangnya mata pencaharian, keadaan yang tidak pasti dan ketakutan
penyebaran virus menyebabkan depresi serta cemas berkepanjangan yang pada
akhirnya berimbas pada terganggunya kondisi kesehatan mental dan psikologis
seseorang.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI) melakukan suatu
swaperiksa mengenai masalah mental dengan menggunakan tiga penilaian yaitu untuk
menilai rasa cemas, depresi dan trauma psikologis. Dari 2364 responden yang ikut
melakukan swaperiksa, 31% tidak memiliki masalah psikologis dan 69% sisanya
memiliki masalah psikologis dimana 68% menderita cemas, 67% depresi, serta 77%
trauma psikologis.

Menurut dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ dalam webinar bertemakan kesehatan
mental yang diselenggarakan oleh Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta,
setiap orang mempunyai reaksi berbeda terhadap stres dan cara menghadapi pandemi
tergantung mekanisme coping yang digunakan oleh tiap individu. Stres pada saat
pandemi Covid-19 bisa berwujud dengan kekhawatiran dan ketakutan akan kesehatan
diri sendiri serta orang yang dicintai, perubahan pola tidur dan makan, kesulitan
berkonsentrasi, perburukan masalah kesehatan kronik, perburukan kondisi kesehatan
jiwa, serta peningkatan pemakaian alkohol dan zat adiktif lainnya.

Kelompok populasi yang menunjukan distres psikologis tinggi di era New
Normal pada saat pandemi yaitu tenaga kesehatan dan medis, lansia dengan kondisi
kesehatan pre-existing dan kesepian, pada anak dan remaja yang terpicu oleh
perubahan sistem pembelajaran dan ketidakpastian masa depan, pada perempuan, serta
para pekerja humanitarian contohnya relawan yang bekerja di wilayah konflik.
Seorang individu yang terpapar gangguan kesehatan mental dapat jatuh pada dua
kondisi, yaitu kondisi behavioral disengagement dan mental disengagement. Kondisi
behavioral disengagement merupakan kondisi dimana seseorang kurang berusaha
dalam menghadapi stresor, bahkan menyerah atau menghentikan usaha untuk
mencapai tujuan karena terganggu oleh stresor. Hal tersebut merupakan sebuah wujud
ketidakberdayaan. Seseorang dengan kondisi mental disengagement merupakan
kondisi dimana seseorang suka melamun atau berkhayal, tidur, dan terpaku menonton
TV untuk melarikan diri dari masalah, misalnya yaitu hanya menonton drama korea,
Netflix, Hulu, Apple TV, dan Viu.

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Young Minds, rutinitas di sekolah
maupun kampus menjadi salah satu mekanisme mengatasi stres. Maka dari itu, dengan
segala aktivitas di sekolah atau kampus yang masih menerapkan sistem daring
menyebabkan adanya konsekuensi-konsekuensi buruk kepada pelajar. Pelajar
mengalami emosi negatif yang bertumpuk, contohnya bagi pelajar yang merasa
lingkungan sekolah atau kampus seperti rumah sendiri, maka tidak berkecimpung di
lingkungan kampus dapat menyebabkan stres dan frustasi. Tidak sedikit pelajar yang
merasa kesepian akibat tak dapat berinteraksi secara langsung dengan pasangan
maupun sahabat. Pelajar yang biasanya menerima sarana konseling dari sekolah atau
kampus juga menjadi rentan terpapar stres dan timbul resiko untuk melakukan
percobaan bunuh diri.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu menjaga kesehatan mental dan
psikologis dikala pandemi seperti ini di era New Normal. Berikut merupakan
rekomendasi hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga kondisi mental dan
psikologis, di antaranya yaitu:

  1. Fokus dengan hal-hal yang kita sukai
    Selama menjaga diri di rumah, kita dapat melakukan hal-hal yang positif salah
    satunya dengan mengeksplorasi dan mengembangkan apa yang ada dalam diri kita.
    Misalnya jika seseorang memiliki hobi memasak, maka dapat meningkatkan jiwa
    wirausaha dengan berjualan makanan. Contoh lainnya, jika seseorang gemar menulis
    dan cinta belajar, maka dapat dikembangkan dengan mengikuti lomba esai atau
    menulis artikel.
  2. Melakukan diet berita dan media social
    Berita terkini yang tersebar di berbagai platform tak jarang menjadi sumber
    kecemasan suatu individu, contohnya berita harian mengenai Covid-19 yang semakin
    hari semakin bertambah. Berbagai macam postingan di media sosial yang mengandung
    unsur kesenjangan juga dapat menimbulkan rasa insecure yang dapat menyebabkan
    kegelisahan pada seseorang. Maka dari itu, diperlukan adanya diet berita dan media
    sosial untuk mencegah agar kita tidak terpapar stres di era New Normal. Kita dapat
    menentukan sendiri porsi penggunaan yang disesuaikan dengan kondisi mental dan
    psikologis kita. Contoh sederhananya dapat dimulai dari saat bangun tidur. Cobalah
    untuk tidak langsung membuka HP dan media sosial, tetapi lakukan kegiatan seperti
    duduk sambil memejamkan mata selama kurang lebih 5 menit sembari memikirkan
    beberapa hal yang disukai dan dapat membuatmu tersenyum. Hal tersebut dapat
    membuat pikiran menjadi lebih positif dan merasa bersyukur terhadap apa yang
    dimiliki.
  3. Tetap berinteraksi dengan orang-orang
    Menjaga komunikasi agar tetap dapat berinteraksi dengan teman atau orang lain
    menjadi salah satu cara untuk bertahan dan merawat kondisi psikologis kita. Contohnya
    dengan mengikuti rapat online suatu kepanitiaan atau organisasi, kumpul online
    bersama teman, serta mengikuti webinar. Berkomunikasi dengan teman merupakan
    suatu bentuk penyegaran pikiran di tengah pandemi dan era New Normal, hal tersebut
    dapat dilakukan melalui Google Meet, Zoom, Webex atau yang lainnya.
  4. Menetapkan rutinitas
    Kebingungan dalam memikirkan apa yang harus dilakukan tak jarang
    menimbulkan stres dan frustasi pada individu. Menetapkan jadwal rutinitas atau
    kegiatan yang harus dilakukan setiap harinya membuat kita fokus dan tidak
    kebingungan memikirkan apa yang harus dilakukan di era New Normal seperti
    sekarang. Jenis kegiatannya dapat beragam disesuaikan dengan kesibukan masingmasing orang, namun hendaknya kegiatan yang dilakukan merupakan hal yang positif
    dan produktif agar apa yang kita lakukan setiap hari dapat bermanfaat setidaknya bagi
    diri kita sendiri.
  5. Menerapkan sikap “Wait & Watch”
    Sikap wait & watch ini merupakan perilaku untuk tidak gegabah dalam menerima
    informasi dan melakukan sesuatu, misalnya adalah ketika terdapat berita bahwa pusat
    perbelanjaan telah dibuka. Kita hendaknya bijak dan tidak terburu-buru untuk segera
    mengunjungi pusat perbelanjaan tersebut, ada baiknya apabila kita melihat dan
    menunggu dulu bagaimana situasinya, apakah benar-benar aman atau tidak. Jangan
    sampai dengan dibukanya pusat perbelanjaan malah menimbulkan adanya klaster baru
    Covid-19 karena masih banyak orang yang gegabah dalam mengambil keputusan.
  6. Tetap merawat diri di rumah
    Merawat diri di rumah dapat dilakukan dengan berbagai macam hal seperti
    melakukan hal-hal yang menyehatkan diri contohnya dengan mengikuti kelas yoga
    melalui Zoom, melakukan olahraga, berjemur, makan makanan yang bergizi,
    mengonsumsi vitamin, tetap fleksibel dengan kondisi yang tampaknya akan terus
    berubah-ubah dan bersabar dengan diri sendiri, serta memperkuat spiritualitas diri
    dengan berdoa, berdzikir, dan meditasi.

Pandemi Covid-19 terbukti tidak hanya menyerang kesehatan fisik, tetapi juga
dapat menyerang kesehatan mental dan psikologis. Pada era New Normal seperti
sekarang, penting untuk mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan dan
berusaha menjaga pikiran kita agar tetap positif dalam menghadapi segala
kemungkinan keadaan yang masih dapat berubah-ubah kedepannya. Keenam hal yang
sudah dijelaskan diatas merupakan contoh hal yang dapat dilakukan di era New Normal
sebagai usaha untuk menjaga kesehatan mental dan psikologis kita agar tidak
mengalami stres, cemas, maupun depresi di tengah pandemi Covid-19.

Urban Farming Sebagai Perlawanan Terhadap Rakusnya Pembangunan Kota dan Alternatif Solusi dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan

Oleh : Respati Bayu Kusuma

Keterbatasan ruang untuk menanam merupakan hal yang perlu mendapat perhatian masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Apalagi di tengah pandemi ini, keterbatasan bahan pangan dapat mengancam kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya dalam mengupayakan ketahanan pangan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar mereka di tengah pandemi ini. Upaya tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan urban farming. Urban Farming adalah suatu kegiatan penanaman di daerah perkotaan dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang ada untuk menggantikan sistem penanaman konvensional yang mengandalkan luasan lahan.

Ada banyak metode dalam melaksanakan kegiatan urban farming, antara lain metode vertikultur, metode wall gardening, metode hidroponik, dan metode akuaponik. Metode vertikultur adalah metode urban farming yang memanfaatkan barang bekas seperti bekas tempat cat. Adapun, penerapannya dengan cara menyusun tanaman yang secara vertical, jenis tanaman yang cocok antara dengan metode ini antara lain adalah sawi dan cabai. Metode wall gardening adalah metode urban farming  yang mirip dengan metode vertikal hanya saja tanaman disusun beserta media tumbuhnya yang disusun di dinding sehingga memberikan kesan menutupi dinding, tanaman yang cocok untuk metode ini antara lain cabai, tomat, dan tanaman hias. Untuk metode hidroponik adalah metode urban farming dengan memanfaatkan media air saja sebagai tempat tumbuh tanaman,, contoh tanaman yang cocok dengan metode ini adalah sawi, bayam, selada. Untuk metode akuaponik adalah metode urban farming dengan menggunakan hubungan symbiosis antara tanaman dengan ikan, biasanya dilakukan di kolam budidaya ikan, contoh tanaman yang cocok adalah kangkung dan jenis ikannya adalah lele.

Urban Farming memiliki banyak manfaat bagi masyarakat, contohnya adalah sebagai pemenuhan program ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau permukiman merupakan unsur pembentuk dalam menciptakan elemen nature (alam) dan society (masyarakat). Ruang terbuka hijau sebagai unsur pembentuk nature dimaksudkan permukiman mempunyai fungsi dalam mendukung kondisi ekologis. Sedangkan elemen society, ruang terbuka hijau mempunyai salah satu fungsi sebagai media rekreasi dan interaksi sosial masyarakat ( Susilowati dan Nurini, 2013). Urban farming dapat menjadi suatu bentuk mewujudkan tata kelola perkotaan yang go-green. Menurut penelitian yang dilakukan oleh profesor Arizona State University, Matei Georgescu, urban farming  berpotensi menghemat 15 miliar kilowatt per jam untuk pemakaian energi dunia selama setahun dan menghasilkan 170.000 ton nitrogen ke udara yang berarti bahwa urban farming dapat  mencegah turunnya 57 juta meter kubik limpasan badai yang kerap mencemari sungai dan saluran air bersih.

Urban farming bukan hanya sebagai bentuk pemenuhan tata kelola kota untuk mewujudkan ruang terbuka hijau. Urban Farming dapat memberikan solusi untuk ketahanan pangan. Seperti yang kita ketahui, pandemi ini membuat akses terhadap makanan menjadi terhambat, sehingga angka kelaparan menjadi naik. Menurut data Global Hunger Index, angka kelaparan di Indonesia tahun 2019 sebesar 20,1 dan termasuk kategori serius dengan menempati ranking 70 dari 117 negara. Data tersebut ialah sebelum terjadi pandemi seperti sekarang yang sedang terjadi. Angka kelaparan selama pandemi tahun 2020 berpotensi besar akan naik drastis. Oleh karena itu diperlukan upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan yang dapat diatasi salah satunya dengan menggalakkan solidaritas pangan berupa melakukan kegiatan urban farming yang hasil panennya dapat digunakan secara kolektif oleh banyak masyarakat. Hal ini menjadi suatu upaya yang efisien dalam melawan kelaparan sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan selama pandemi ini. Tidak hanya itu, urban farming ini juga dapat menjadi pemberdayaan masyarakat dan bisa juga dijadikan sebagai tambahan pendapatan masyarakat selama ini dengan cara menjual hasil panen dari urban farming ini.

Dengan demikian, urban farming dapat menjadi sebuah alternatif solusi yang dapat di untuk mengatasi permasalahan pangan sekaligus menjadi suatu upaya untuk mengatasi krisis iklim yang juga sedang terjadi. Harapannya, urban farming dapat menjadi suatu budaya yang kedepannya terus dilakukan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan manfaat urban farming farming yang begitu besar bagi lingkungan, pangan, dan pemberdayaan masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

Referensi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari Bumi Bukanlah Sebuah Selebrasi

OLEH: Aditya Setyawan Putra

Bumi, satu-satunya planet dalam susunan tata surya yang ditinggali oleh makhluk hidup ini tak lama lagi akan dirayakan besar-besaran oleh miliaran cacah jiwa di seluruh dunia. Tepatnya 22 April nanti seluruh penduduk bumi akan merayakan suatu hari yang dinamakan Hari Bumi (Earth Day). Tentunya perayaan Hari Bumi ini tak seramai dan semeriah perayaan HUT Kemerdekaan RI atau hari-hari besar lainnya. Pasalnya, sampai saat ini di Indonesia juga masih banyak yang belum mengetahui tentang Hari Bumi, sehingga Hari Bumi hanya dirayakan oleh sebagian masyarakat saja. Di Hari Bumi ini justru masyarakat biasanya melakukan kegiatan-kegiatan sederhana yang berhubungan dengan pelestarian dan pemberdayaan lingkungan. Banyak sekali macam kegiatan yang dilakukan penduduk bumi dalam mengisi Hari Bumi ini. Dimulai dari aksi di rumah sendiri, yaitu menghemat penggunaan air, lampu, dan listrik. Adapun kegiatan lain yang biasanya diadakan di lingkungan sekitar, seperti program sosialisasi lingkungan, bersih-bersih jalan atau kampung, dan penanaman pohon secara massal. Tak hanya sampai disitu, aksi-aksi unjuk rasa atau demo mengenai kerusakan lingkungan juga turut mewarnai Hari Bumi ini. Unjuk rasa biasanya dilakukan di sepanjang jalan-jalan vital suatu kota, bahkan di depan Istana Presiden sekalipun. Para pengunjuk rasa kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa, kritikus, dan aktivis lingkungan yang fokus betul terhadap kondisi lingkungan dan hubungannya terhadap keberlangsungan hidup makhluk hidup. Aktivitas sosial juga ikut meramaikan kegiatan di Hari Bumi, seperti acara bagi-bagi bunga, sembako, dan pakaian layak pakai; kunjungan ke panti sosial; serta kegiatan lain yang seringkali dilakukan oleh suatu komunitas sosial.

Apapun kegiatannya selama tujuannya baik dan berhubungan dengan Hari Bumi, saya selalu setuju. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah masih adakah keberlanjutan dari serangkaian program lingkungan dan sosial yang telah dibuat? Adakah pula manfaat dalam jangka panjang yang didapatkan setelah sehari, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan mempersiapkan acara untuk Hari Bumi? Ataukah hanya untuk mengisi waktu luang yang kosong dan membuang tenaga saja? Bukannya ingin berprasangka buruk, tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua kegiatan yang telah diadakan untuk menyambut Hari Bumi tidak akan bertahan lama, dan mirisnya hanya sedikit manfaat yang dapat digali dari serangkaian aktivitas yang ada. Semua ini tak ubahnya seperti sebuah selebrasi belaka, yang tujuan aslinya hanya untuk memeriahkan suatu hari khusus tanpa mempertimbangkan manfaat apa saja yang bisa dikaji oleh seluruh masyarakat, yang hanya “hangat” di awal, dan menjadi “dingin” keesokan harinya. Tak lebih dari sekadar acara seremoni, meriah di awal, namun menjadi tak berarti di keesokan hari. Sungguh disayangakan jika acara-acara yang bertujuan baik ini hanya berhenti di tengah jalan, dengan dalih kesibukan rutinitas sehari hari.

Lalu, apa kuncinya agar kita terus menjalankan kegiatan tidak hanya di Hari Bumi saja? Semuanya pasti berasal dari niat. Sejelas dan sekuat-kuatnya rencana kita, jika tidak disertai dengan niatan yang kuat pula, maka tidak akan menghasilkan apapun. Mulailah dari kegiatan yang paling sederhana, tetapi harus dilakukan secara konsisten. Contohnya, dengan menghemat air, lampu, dan listrik terlebih dahulu. Lakukan dengan niat ingin menjadikan lingkungan bumi sebagai rumah kita menjadi lebih baik. Apabila berhasil, lakukanlah aksi yang lebih besar, seperti penanaman pohon massal dan bersih-bersih lingkungan, hingga pada kaliber internasional. Salah satu contohnya dengan mengikuti organisasi lingkungan tingkat global, seperti WWF (World Wildlife Fund); Greenpeace; atau WMO (World Meteorological Organization). Namun, motivasi utama untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan harus tetap dijaga dan jangan sampai digantikan oleh motivasi lain yang malah membawa kita pada kemalasan, yang akhirnya membuat kita hidup seperti dahulu kembali, yang sama sekali tak mempedulikan lingkungan bumi.

Poin selanjutnya, mengapa sih kita dituntut untuk harus konsisten melakukan kegiatan yang biasanya kita lakukan untuk menyambut Hari Bumi? Kalau kita peka terhadap lingkungan, maka seharusnya tidak ada pertanyaan yang demikian. Tentu kita pernah mendengar peristiwa terbakarnya hutan di Kalimantan oleh ulah tangan tak bertanggungjawab yang berakibat banyak satwa hutan tersebut yang kehilangan habitat aslinya. Satwa-satwa tersebutpun mau tidak mau harus mencari tempat tinggal yang layak dihuni mereka. Mereka akhirnya memilih pemukiman penduduk sekitar sebagai tempat tinggal sementara mereka. Namun apa yang terjadi? Para penduduk bukannya merawat mereka, justru menganiaya dan membunuh mereka agar tidak mendekati pemukiman penduduk lagi. Dari sini kita dapat melihat, ujung dari peristiwa itu ada banyak pihak yang merasa dirugikan, mulai dari “penghuni” asli hutan tersebut, hingga warga sekitar hutanpun turut terkena imbasnya. Itu baru salah satu kasus di tempat nan jauh disana. Bagaimana dengan Yogyakarta? Apakah lingkungan di Yogyakarta aman dan baik-baik saja? Rupanya pertanyaan itu malah menjadi sindiran pedas buat penduduk Yogyakarta. Betapa tidak, wajah sungai Code yang merupakan sungai penting di Yogyakarta saja kini buruk seburuk-buruknya. Kondisi sungai yang sekilas nampak seperti selokan raksasa ini penuh dengan limbah rumahtangga dan kotoran lainnya. Saking parahnya, jika kita semakin mendekati sungai Code, akan tercium aroma bau yang kian menyengat lambang rendahnya sanitasi air di sungai ini. Warna air yang kecoklatan dan jauh dari kata bening mengisyaratkan air sungai Code yang tak layak dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari. Meskipun begitu, ada juga beberapa penduduk, terutama yang tinggal di pinggir sungai Code yang masih memakai air sungai Code untuk keperluan mencuci, bahkan untuk makan dan minum. Hal ini sungguh ironis. Di pikiran masyarakat umum, Yogyakarta dikenal sebagai kota besar, memiliki banyak potensi wisata, dan menjadi incaran tujuan wisata para wisatawan, tetapi di sisi lain, Yogyakarta juga menunjukkan rupa buruknya, salah satunya kondisi sungai Code dan masyarakat sekitar sungai Code ini. Setelah mengetahui dua masalah serius di lingkungan kita ini, harapannya kita semua menjadi lebih peka terhadap sesama dan lingkungan, sehingga sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk melestarikan dan menyelamatkan lingkungan sekitar pada khususnya, dan bumi kita pada umumnya.

Jadi, jangan tunggu sampai tanggal 22 April nanti untuk membenahi rumah kita ini. Mulailah dari sekarang dengan melakukan aksi sederhana terlebih dulu, apapun bentuk aksinya. Milikilah niat yang kuat, tulus, dan jagalah itu, niscaya tujuan kita untuk menyelamatkan bumi melalui organisasi internasional akan tercapai. Jadikanlah setiap hari kita sebagai hari untuk bumi, karena Hari Bumi itu tak hanya sekadar selebrasi!

Bukti(kan) Kepedulian kita: Aksi Berkelanjutan, Bukan Euforia Seremonial Semata

OLEH: HENDIAN BUDI SETYARA

Bumi sampai saat ini masih menjadi satu-satunya tempat yang dapat ditinggali manusia, hewan dan tumbuhan. Di bumi ini manusia, hewan, dan tumbuhan setiap detiknya melangsungkan hidupnya. Bumi sangatlah penting dan menjadi begitu penting mengingat bumi adalah sumber kehidupan bagi makhluk yang menempatinya. Saya kira jika saya mengatakan bahwa “bumi adalah bentuk dari kehidupan” itu sendiri, saya kira ini bukan suatu yang berlebihan.

Bumi tidak butuh manusia tapi manusia lah yang membutuhkan bumi. Bumi akan tetap eksis meskipun tanpa manusia, namun manusia tanpa bumi? Mungkin mereka hanya bisa nyengir (kalaupun itu mereka hidup). Bumi memiliki suatu sistem dimana sistem tersebut mengatur keseimbangan proses-proses didalamnya sehingga makhluk hidup dapat hidup dengan semestinya. Sistem ini sangatlah kuat namun tidak menutup kemungkinan sistem ini terganggu dan kemudian rusak. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan sistem keseimbangan di bumi menjadi terganggu, namun faktor yang paling istiqomah yang mempercepat kerusakan sistem ini tak lain dan tak bukan adalah manusia. Manusia pada hakikatnya berkewajiban untuk menjaga keseimbangan yang ada di bumi dengan sebaik-baiknya karena seharusnya jika kita sadar maka harusnya kita punya beban budi terhadap bumi. Segala yang kita butuhkan sudah disediakan oleh bumi dengan cuma-cuma dan yang diharapkan dari kita hanyalah menjaga bumi dan mengelolanya dengan bijak.

Bumi yang sebagai pijakan kita hidup tidak jarang luput dari perhatian kita. Padahal bumi sangatlah membutuhkan uluran tangan kita semua. Tujuannya tidak lain agar bumi tetap menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk ditinggali baik untuk generasi kita maupun generasi masa depan. Maka dari itu memupuk rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap bumi perlu ditanamkan sesegera mungkin. Menumbuhkan kepedulian tidak harus dengan aksi besar-besaran atau mencakup massa yang besar, karena jika terus beralasan seperti itu—kepedulian harus dengan massa yang besar— yang dimana momen-momen seperti itu hanya ada satu atau dua kali dalam satu tahunnya, ditakutkannya kita malah akan kehilangan kesempatan yang besar. Padahal kerusakan yang terjadi di bumi ini terus-terusan (berkelanjutan) dan yang pasti dari waktu ke waktu semakin besar. Maka dari itu, cukup berawal dari diri sendiri lah pertama sikap kepedulian terhadap bumi ditumbuhkan. Dengan memulai dari diri sendiri maka kita sudah memulai langkah kita (langkah nyata kita). Perwujudan kepedulian dapat disalurkan lewat suatu karya ataupun lewat aksi. Sesederhananya karya atau sekecil apapun bentuk aksi itu tidak masalah, yang penting ketulusan kita dalam kepedulian merawat bumi. Seperti pepatah dari lao Tze “Perjalanan 1000 mil dimulai dari 1 langkah”, yang artinya bahwa setiap usaha kecil kepedulian kita jika terus dilakukan (istiqamah) maka akan semakin besar jadinya efek hasil yang terasa, dan bayangkan jika usaha seperti ini tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua orang, dapat dipastikan efeknya akan luar biasa dan efek berantai pun juga akan mengikuti.

Hari bumi yang setiap tahunnya diselenggarakan tiap 22 April adalah puncak dari kepedulian kita terhadap bumi tercinta. Menurut Earth Day Network (EDN), organisasi non-profit yang mengkoordinir kegiatan Hari Bumi, lebih dari 1 milyar orang yang tergabung dalam kegiatan Hari Bumi. Lebih dari 192 negara ikut andil dalam gerakan hari bumi ini. Sangatlah kurang tepat jika memaknai hari bumi hanya sekadar aksi selebrasi atau peringatan semata—22 April. Hari bumi lebih dari sekadar apel ceremonial yang serentak diselenggarakan di seluruh penjuru dunia. Namun, Hari Bumi (Gerakan Hari Bumi) ini adalah suatu usaha yang berkelanjutan, sebuah karya atas dasar kepedulian bersama, atas dukungan dari berbagai pihak. Mengusung tema: Pohon untuk Bumi, EDN menginisiasi aksi menanam 7,8 milyar pohon, mulai dari tahun 2016 ini, selama perhitungan mundur untuk perayaan ulang tahun Hari Bumi ke-50 pada tahun 2020 mendatang. Satu pohon untuk satu orang, EDN mengajak semua pihak untuk ikut berpartisipasi dalam aksi bersama ini.

Lalu, apakah aksi kita hanya berhenti sampai disitu saja? Seharusnya tidak. Jangan sampai kepedulian kita hanya berhenti sampai pada pengguguran tugas semata. Masih banyak PR yang harus kita semua kerjakan dan selesaikan. Masalah dan isu lingkungan yang sekarang ini beredar mungkin sebagian besar adalah berasal dari ulah manusia (yang tidak bertanggung jawab) itu sendiri. Semua itu jika dirunut dari akibat dan asal sebab maka akan mengarah kepada kurangnya kepedulian terhadap lingkungan. Dari situlah gagasan bahwa kepedulian harus ditanamkan sesegera mungkin dan dimulai pada diri sendiri sangatlah urgent. Penanaman kepedulian disini dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan cinta lingkungan terhadap siswa-siswi yang sedang duduk dibangku sekolah, aktif menjadi aktivis ataupun relawan dalam upaya pelestarian lingkungan, dan yang paling penting adalah merubah “mindet serba instan” menjadi “mindset serba cinta lingkungan”. Maksud saya “mindset kontra dari serba instan” tersebut adalah dengan membiasakan hidup hemat, meninggalkan budaya konsumtif, disiplin membuang sampah pada tempatnya (mengenal 5 jenis warna tempat sampah dan fungsinya), hemat air, hemat listrik dan lain sebagainya. Sengaja saya tidak saya sebutkan semua karena salah satu persyaratannya “Essay tidak lebih dari 3 lembar. Memang hal yang saya sebutkan diatas terlalu teknis namun hal-hal yang sekiranya luput dari perhatian itulah yang sangat urgent sekali dilakukan—mengingat Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) mengumumkan prediksinya lewat sebuah dataset bahwa bumi akan mengalami perubahan iklim besar-besaran dalam waktu 85 tahun lagi, tepatnya di tahun 2100. Sekadar info saja bahwasannya pada tahun 2100 lapisan karbondioksida pada atmosfer bumi diprediksi akan mencapai 935 ppm (parts per million), sebuah angka yang sangat tinggi mengingat saat ini lapisan karbondioksida sudah berkisar pada 400 ppm.

Silakan direnungkan jika memang dibutuhkan..

Lalu bagaimanakah peran kita sebagai para pemijak bumi? Apakah diam saja melihat masalah dan isu yang membuat kita (seharusnya) sudah mulai berkeringat dari sekarang, atau menunggu tahun 2100 baru berkeringat? Kalau menunggu tahun 2100 untuk berkeringat saya takut saat itu kita tidak bisa lagi berkeringat karena tidak ada persediaan air lagi untuk diproses menjadi keringat. Maka dari itu sebelum terlambat, sebelum generasi masa depan mengenang generasi kita menjadi sebuah pengalaman (re:kesalahan), saya lebih prefer untuk menjadi generasi teladan dan dikenang karena aksinya dalam menjaga bumi menjadi tempat yang indah untuk generasi masa depan. Dapatkah ini dilakukan sendirian? Tidak. Kita perlu bergerak bersama. Ya, bergerak bersama-sama.