Teluk Benoa, Reklamasi, dan Permainan Curang

Teluk Benoa, Reklamasi, dan Permainan Curang

Teluk Benoa, Reklamasi, dan Permainan Curang

Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang dikenal oleh dunia. Pariwisata di Bali sangat maju dan terkenal karena keunikan Pulau Bali. Bali merupakan pulau yang memberi suguhan menawan dan memanjakan indera setiap khalayak yang singgah. Hal tersebut yang membawa daya tarik dan melahirkan potensi pariwisata yang dilirik sebagian besar penyedia jasa dan properti. Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan, sebagian juga memilih menjadi seniman. Good place, nice people, marvelous culture, dirasa menjadi kombinasi slogan yang tepat untuk keunikan pulau Bali.

Sekitar pertengahan 2012, pulau Bali menjadi gempar. Tanjung Benoa, salah satu kawasan di pulau Bali oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT. TWBI) dicanangkan megaproyek di wilayah perairan Teluk Benoa dalam upaya merevitalisasi kawasan tersebut. Upaya revitalisasi kawasan tersebut diawali dengan usaha reklamasi dimulai dari perluasan Pulau Pudut, sebuah pulau kecil di dekat Tanjung Benoa. Upaya revitalisasi di perairan Teluk Benoa ini berasalan bahwa wilayah pemukiman di Bali mulai menyempit seiring berkembangnya pembangunan. Lahan pertanian juga mulai terhimpit. Akhirnya dalam upaya merevitalisasi kawasan tersebut diputuskan reklamasi sebagai usaha yang tepat untuk memperbesar lahan terutama untuk sektor pariwisata sebagai potensi utama wilayah tersebut.

Alasan lainnya terkait dengan diputuskannya reklamasi sebagai cara yang tepat yaitu penjagaan Pulau Bali dari bencana, dilakukannya reklamasi pada wilayah perairan Teluk Benoa dikarenakan terdapat Pulau Pudut yang sudah tergerus keberadaannya. Reklamasi yang dilakukan juga bertujuan untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan pantai akibat abrasi, untuk mitigasi bencana khususnya bencana tsunami dan naiknya air laut, pun usaha memperluas hutan mangrove yang berada di bibir pantai.

Berbagai golongan seperti akademisi, pagiat lingkungan, hingga seniman gencar melakukan perlawanan karena dirasa reklamasi bukan usaha yang tepat jika menekankan alasan-alasan. Pada 26 Desember 2012 Gubernur Bali menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang izin dan hak Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa. Gubernur Bali melalui SK tersebut memberikan hak pemanfaatan wilayah kepada PT. TWBI seluas 838 hektar. Dalam hal ini Gubernur menyetujui rancangan upaya revitalisasi dan bersama PT. TWBI akan melakukan upaya menggiatkan kembali potensi wilayah perairan Teluk Benoa yang dalam argumen mereka perlu untuk di segarkan melalui tindakan reklamasi.

Masyarakat Bali menilai bahwa Teluk Benoa berperan penting dalam keseimbangan ekosistem dan aliran air. Kehidupan masyarakat sekitar Teluk Benoa hampir sepenuhnya bergantung pada hasil kekayaan alam dan jasa pariwisata rumahan disana. Tak dapat dipungkiri, keberadaan Teluk Benoa dan segala bentuk keseimbangan aspek alamnya sangat mempengaruhi hidup masyarakat dan menunjang keberlangsungan alam melakukan suksesi yang sehat. Dengan pertimbangan tersebut, masyarakat Bali, akademisi, pegiat lingkungan, hingga seniman bertahan menolak izin pemanfaatan pada SK tersebut.

Pada 16 Agustus 2013 pencabutan SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 melalui penerbitan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali dilakukan. Penerbitan SK Nomor 1727/01-B/HK/2013 tersebut dirasa tidak menutup polemik rencana reklamasi, karena pada dasarnya SK tersebut sekedar revisi dari SK yang sebelumnya dan tetap dalam upaya pemberian hak kepada PT. TWBI untuk melakukan kegiatan reklamasi dengan dalih studi kelayakan.

Semakin gempar dan gelombang penolakan semakin gencar ketika pemerintah Indonesia, SBY mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, yang menghapus kawasan Teluk Benoa dari daftar kawasan konservasi (Zona L3) pada pasal 55 ayat 5 huruf b. Selanjutnya muncul beberapa pasal baru seperti pasal 63A yang menyatakan Teluk Benoa sebagai zona penyangga (Zona P) dan pasal 101A yang berisi arahan peraturan zonasi untuk zona P. Pada pasal 101A huruf d point 6 menyatakan pada kawasan Teluk Benoa melalui kegiatan revitalisasi dapat diselenggarakan upaya reklamasi paling luas 700 hektar. Dari perubahan tersebut terlihat upaya pemerintah meloloskan megaproyek milik PT. TWBI.

Kiranya perlu diketahui terlebih dahulu makna revitalisasi dan reklamasi sebagai kata kunci yang sering muncul pada redaksi Perundang-undangan dan umpan buaian PT. TWBI. Revitalisasi merupakan proses, cara, perbuatan menghidupkan kembali atau menggiatkan kembali, sedangkan reklamasi merupakan usaha memperluas tanah dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna ; penggurukan (Sumber : KBBI). Dalam kasus ini revitalisasi memiliki arti yaitu menggiatkan kembali kawasan perairan Teluk Benoa. Perlu kita garis bawahi, target revitalisasi adalah kawasan perairan. Maka upaya menggiatkan kembali fungsi kawasan perairan Teluk Benoa hendaknya berorientasi pada fungsi daerah perairan tersebut seperti perikanan dan pelayaran. Sedangkan reklamasi tersebut bertujuan membangun beberapa pulau baru untuk dijadikan kawasan pariwisata terpadu.

Teluk benoa merupakan kawasan bermuaranya 7 sungai, yaitu Sungai Punggawa, Sungai Balian, Sungai Badung, Sungai Mati, Sungai Soma, Sungai Mumbul dan Sungai Bualu. Pastilah tingkat sedimentasinya tinggi dikarenakan ketujuh sungai membawa material sedimentasi dari hulu ke hilir. Reklamasi yang dilakukan akan menutup bagian teluk tempat air sungai bermuara. Akibatnya material sedimentasi yang dibawa akan terhambat dan mempercepat pendangkalan pada muara sungai dan pada daerah sekitar teluk tempat air sungai bermuara. Pendangkalan yang terjadi menyebabkan banjir di bagian hilir dan terjadi kenaikan muka air laut secara sementara ataupun permanen ketika hujan tiba. Air sungai yang mengalir dari atas ke bawah diterima di Teluk Benoa dengan mudah. Jika terdapat pulau buatan atau penambahan volume daratan di daerah teluk maka air yang berasal dari ketujuh sungai di sekitar teluk akan membanjiri daerah di sekitarnya dikarenakan area tampungan tidak cukup menampung air yang mengalir. Wilayah perairan diantara pulau tidak cukup menampung air dari beberapa DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan cepat. Bahkan hal ini akan membahayakan pulau buatan tersebut jika terjadi hujan lebat dan area Teluk Benoa tidak dapat menampung luapan air dengan cepat.
Jika rencana 75% wilayah Teluk Benoa akan direklamasi maka artinya wilayah Pantai Tanjung Benoa, Pantai Nusadua, Pantai Semawang, dan Pantai Sanur akan berpotensi terkena abrasi.

Abrasi diawali dengan terjadinya perubahan arus air laut menuju ke daerah-daerah tersebut. Air laut yang seharusnya masuk ke teluk terhambat oleh volume air laut pada teluk yang penuh akibat adanya pulau-pulau buatan. Terhambatnya air laut yang masuk lalu membelok ke bibir pantai daerah-daerah tersebut. Perubahan arus air laut yang melewati perairan dangkal Selat Badung lalu membelok ke bibir pantai daerah Sanur, Semawang, Tanjung Benoa, dan Nusadua yang terjadi dengan tenaga besar menyebabkan pulau-pulau di jalur belokan mengalami abrasi. Abrasi yang terjadi akan mengikis pulau yang ada sedikit demi sedikit. Pantai mengalami penyempitan dan mengganggu ekosistem pantai juga pemukiman warga pesisir pantai. Teluk Benoa merupakan kawasan penyebaran hutan mangrove terluas di Bali. Hutan mangrove tumbuh melingkari sisi Teluk Benoa, mulai dari Sungai Loloan sampai Tanjung Benoa dan sebagian Pulau Serangan. Luas kawasan hutan mangrove di teluk Benoa mencapai 62,9 % dari luas total hutan mangrove yang ada di bali (Sumber : Conservation International Indonesia, 2013).

Keberadaan hutan mangrove Teluk Benoa memiliki peran yang sangat penting secara fisik, ekologi maupun ekonomi. Secara fisik, hutan mangrove merupakan pelindung daratan dari erosi/abrasi pantai, sistem filter yang melindungi terumbu karang dan padang lamun dari ancaman kerusakan sedimentasi sampah dan air limbah yang berasal dari daerah perkotaan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Disamping itu hutan mangrove juga mempunyai kemampuan tinggi mengurangi dampak dari bencana tsunami dan angin kencang. Dalam sistem tata lingkungan perkotaan, hutan mangrove di sekeliling pinggiran Teluk Benoa berperan sebagai paru-paru kota dengan produksi oksigen dan menyerap emisi karbon perkotaan mengingat letaknya yang strategis di daerah perkotaan.

Mengenai vegetasi mangrove sendiri, spesies yang ada kebanyakan berjenis Prapat (Sonneratia spp.). Prapat sangat peka terhadap sedimentasi. Adanya reklamasi maka sedimentasi akan bertambah cepat dikarenakan area laut semakin berkurang dengan adanya pulau baru. Sedimentasi menjadi cepat dikarenakan material sedimentasi diterima oleh daerah tangkapan yang sempit akibat terhalang oleh pulau buatan dari kegiatan reklamasi sehingga material yang ada berkumpul pada ruang yang sempit dan mempercepat penumpukan. Mangrove pada Teluk Benoa akan terancam kematian karena lingkungan payau yang ada perlahan menjadi pantai akibat sedimentasi atau pendangkalan yang berlangsung cepat. Faktor lain yang menyebabkan kematian mangrove dikarenakan limbah dari pulau buatan yang mungkin dapat terbuang ke arah laut dan faktor lainnya yaitu kurangnya nutrisi dari laut akibat akses nutrisi langsung terhadap laut tertutup oleh pulau buatan dari kegiatan reklamasi.

Jadi bagaimana mekanismenya, sebuah upaya penggurukan dapat memperluas wilayah hidup mangrove di bibir pantai tersebut? Penggurukan dengan material luar (pasir, dan batu), sedangkan wilayah hidup mangrove berupa material endapan (lumpur). Intervensi material luar akan mengganggu keseimbangan wilayah tersebut. Kami setuju jika hanya memperluas, tapi apakah memperluas dan hidup? Barangkali ada dari PT. TWBI yang bisa menjelaskan lagi.
Pemicu awal munculnya gonjang-ganjing reklamasi Teluk Benoa adalah Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang izin dan hak Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa. Namun permasalahan induk sebenarnya terletak pada problem yuridis perubahan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 menjadi Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang perubahan atas peraturan Rencana Tata Ruang Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).

Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 pasal 55 ayat 5 huruf b menyatakan bahwa perairan Kawasan Teluk Benoa sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan merupakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Gubernur Bali melalui SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 memberi izin pemanfaatan kepada PT. TWBI untuk melakukan reklamasi seluas 700 hektar di perairan Teluk Benoa. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 pasal 2 ayat 3 yang menyatakan bahwa reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut. Dari hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa rencana reklamasi tidak memenuhi ketentuan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009, dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang kawasan perkotaan Sarbagita yang menetapkan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.

Namun apa yang terjadi, di akhir masa jabatannya sebagai Presiden, SBY mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 sebagai perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita yang intinya mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi zona penyangga atau kawasan pemanfaatan umum. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa adalah kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 pasal 55 ayat 5 huruf b serta mengurangi luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan kata “sebagian” pada kawasan konservasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut. Hal tersebut menyebabkan luas kawasan konservasi di wilayah Sarbagita menjadi berkurang. Selanjutnya muncul beberapa pasal baru seperti pasal 63A yang menyatakan teluk Benoa sebagai zona penyangga (Zona P) dan pasal 101A yang berisi arahan peraturan zonasi untuk zona P. Pada pasal 101A huruf d point 6 menyatakan pada kawasan Teluk Benoa melalui kegiatan revitalisasi dapat diselenggarakan upaya reklamasi paling luas 700 hektar.

Dari perubahan tersebut terlihat upaya pemerintah meloloskan megaproyek untuk tetap dilangsungkan oleh PT. TWBI. Peraturan Presiden nomor 51 Tahun 2014 lahir hanya untuk mengakomodir rencana reklamasi Teluk Benoa. Bau korporasi mulai tercium antara penguasa dalam hal ini pemerintah dan orang kaya dalam hal ini PT. TWBI. Sekali lagi, negara hanya menjadikan masyarakat sebagai objek pembangunan dan menjauhkan mereka dari akses kehidupan. Negara memaksa masyarakat mengikuti aturan main yang semena-mena dan menghegemoni mereka atas hajat hidup dan sumber daya dengan dalih kemaslahatan dan kemajuan peradaban manusia.

Departemen Kajian Strategis
-LEM FKT UGM 2016-
‪#‎Juang‬
‪#‎SiapSemangat‬

Categories: Kajian Strategis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.