Mengambil Peran dalam Membangun Masa Depan Kehutanan
- Post by: admin
- November 29, 2015
- No Comment
Oleh: Wanda Arethusa (General Forestry 2015)
Kehutanan dulu benar-benar menjadi salah satu tumpuan Republik Indonesia dalam menghasilkan devisa. Keberadaan sektor Kehutanan dengan melimpahnya kayu sekitar tahun 1967 – 1998 sangat diperhitungkan oleh berbagai pihak dan disebut-sebut sebagai Rising Industry yang mencetak rimbawan-rimbawan berkantong tebal. Dalam kurun waktu 1982 – 1990, para pengusaha yang telah membangun industri kayu lapis dan kayu panel lainnya dan pada akhirnya yang beranggotakan 105 perusahaan yang melalui Badan Pemasaran Bersama, memasarkan kayu lapis. Dengan ini, industri kayu lapis dan kayu panel Indonesia telah berhasil menancapkan kukunya di belantara perdagangan kayu lapis internasional hingga mengantarkan Indonesia menjadi eksportir terbesar kayu lapis dan kayu panel di Dunia.
Fakta Masa Transisi
Pada tahun-tahun setelah tahun 1998, nama kehutanan menjadi tidak ada artinya. Berbeda sekali ceritanya dengan masa lalu, tahun-tahun ini yang terdengar adalah berita mengenai tim penertiban penebangan liar, angkutan kayu yang diurus oleh polisi dan militer, konflik sosial dengan masyarakat setempat – terutama masyarakat adat – atas penguasaan lahan hutan dan sumberdaya hutan, dan lain sebagainya. Adapun para pengusaha HPH mundur-maju untuk bergerak. Biaya pengusahaan hutan menjadi sangat tinggi karena kayu yang resmi pun, tidak jarang, menjadi sasaran penertiban Tim Pengawasan Pengangkutan Kayu yang berujung pada fenomena transactional cost.
Hariadi Kartodiharjo (2008) menyatakan bahwa yang terlihat secara fisik saat ini adalah besarnya kerusakan hutan dengan laju yang terus bertambah. Musibah banjir dan longsor adalah implikasinya. Penyebab pokok bermacam-macam, mulai dari masalah struktural yang bersumber dari masalah-masalah kebijakan, biaya transaksi tinggi, aspek-aspek ekonomi termasuk tingginya demand terhadap kayu, aspek institusi termasuk tidak adanya kepastian usaha dan hak penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sampai pada masalah lemahnya pengorganisasian yang menangani masalah kehutanan, SDM, teknologi, dll.
Pesimisme dan Tanggung Jawab Rimbawan Muda
Kini, kawasan hutan tropis Indonesia yang terus mengalami degradasi dan deforestasi memberikan pesimisme tersendiri bagi masa depan kehutanan di negeri kita tercinta. Kawasan yang dulu menyediakan komoditas kayu yang melimpah berikut intangible benefit yang sangat dirasakan sekarang seolah menjadi kawasan yang semakin gersang dan tidak pasti masa depannya.
Di tengah ketidakpastian ini ada semacam ungkapan paradoks yang sering dijadikan sindiran untuk para rimbawan, “Semakin banyak sarjana kehutanan, semakin rusaklah hutan kita.” Tentunya ini adalah dua fakta yang sering dianggap memiliki korelasi yang lucu. Tentunya banyak pendapat yang bisa dipakai untuk menjelaskan paradoks ini. Sebagian pendapat menjelaskan fakta banyaknya sarjana kehutanan yang tidak mendedikasikan dirinya dalam dunia kehutanan. Biasanya karena mereka bekerja di luar sektor kehutanan. Ada juga pendapat yang menekankan pada aspek moral para sarajana kehutanan tersebut. Dan masih banyak lagi pendapat lainnya.
Sebenarnya memikirkan ungkapan tadi tidaklah penting karena ungkapan tersebut bukan pertanyaan yang harus dijawab melainkan tantangan yang harus dihadapi. Ungkapan tersebut seharusnya menjadi stimulus bagi para rimbawan, terutama rimbawan muda baik itu sarjana kehutanan maupun calon sarjana kehutanan, yaitu mahasiswa kehutanan untuk lebih bertanggungjawab terhadap kondisi kehutanan Indonesia kini. Dan tanggung jawab itu bisa diekspresikan dengan berbagai upaya kongkrit sesuai peran yang bisa diupayakan oleh masing-masing orang.
Saatnya Sarjana dan Mahasiswa Kehutanan Mengambil Peran
Setidaknya, ada tiga peran yang dapat diambil oleh sarjana dan mahasiswa kehutanan dalam membangun masa depan kehutanan di Indonesia. Pertama, sarjana dan mahasiswa kehutanan sebagai inovator kehutanan. Mereka bisa melakukan penelitian dalam bidang teknologi hasil hutan untuk meningkatkan efisiensi proses produksi maupun diferensiasi produknya. Adapun dalam diri mereka bisa melakukan kajian untuk menghasilkan rumusan kebijakan baru yang solutif dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah di sektor kehutanan. Kemudian rumusan kebijakan tersebut bisa ditawarkan kepada aparat pemerintahan maupun publik sebagai aspirasi kaum intelektual.
Kedua, sarjana dan mahasiswa kehutanan sebagai kontributor kehutanan di masyarakat. Mereka tentunya bisa langsung mempraktekan hardskill dan softskillnya untuk mendorong masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan agar ikut serta berkontribusi mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Mereka bisa langsung mengedukasi mereka dengan berbagai penyuluhan sekaligus menyumbangkan berbagai produk baru yang dihasilkan dari penelitian di bidang kehutanan baik itu terkait silvikultur, teknologi hasil hutan, konservasi sumber daya alam dan ekowisata, maupun manajemen hutan.
Ketiga, sarjana dan mahasiswa kehutanan sebagai komunikator kehutanan. Mereka bisa melakukan propaganda kehutanan dengan berbagai media sesuai dengan passion masing-masing dan bisa menjadi saluran ekspresi kehutanan. Jika peran ini bisa dimaksimalkan, maka gap antara masyarakat secara luas dengan realita kehutanan bisa diperkecil. Begitu masyarakat merasa dekat dengan kehutanan, kesadaran kolektif akan pentingnya menyelamatkan masa depan kehutanan tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu bisa dikatakan peran ini sangat variatif, dinamis dan penting sekali.
Masa Depan Kehutanan Indonesia
Masa lalu kehutanan Indonesia yang dibanggakan dengan “Rising Industry” nya tentu tidak boleh membuat kita berandai-andai seperti masa itu karena faktanya kini telah berubah. Keterlenaan masa lalu yang kini membuat masa depan kehutanan tidak menentu harus menjadi pelajaran penting agar kita lebih bijaksana dalam mengelola hutan karena pada hakikatnya generasi penerus kita menitipkan hutan kepada kita. Adapun terkait masa depan kehutanan Indonesia, ada pertanyaan yang jawabannya sangat berkorelasi dengan itu: seberapa besarkah peran kita dalam membangun masa depan kehutanan?