[OPINI MAHASISWA] Gumpalan Kabut Asap yang Tak Kunjung Berujung

[OPINI MAHASISWA] Gumpalan Kabut Asap yang Tak Kunjung Berujung

Oleh: Annisa Camelia (General Forestry 2015)

Hitungan hari, minggu, bulan bahkan tahun terus berjalan tanpa menggubris keadaan. Balada kabut asap di pulau Sumatera pun tak kunjung habisnya bahkan sekarang merambah ke pulau Kalimantan. Tujuh tahun terakhir, fenomena kebakaran hutan, pembukaan lahan, merebaknya kabut asap dan korban-korban ISPA berjatuhan terus saja mewarnai berbagai headline surat kabar di dalam maupun luar negeri. Kebakaran hutan bukanlah persoalan baru yang dihadapi oleh bumi pertiwi. Hampir setiap tahun, pemerintah indonesia menghadapi persoalan yang sama yaitu pembakaran hutan oleh oknum tidak bertanggungjawab.

sumber gambar: tempo.co

Pada tahun 1997/1998, di masa transisi hampir 10 juta Ha hutan nasional dibakar guna pembukaan lahan perkebunan di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Diperkirakan 20 juta manusia tak berdosa memderita ISPA dan penyakit jangka panjang lainnya akibat kabut asap tersebut. Beberapa bandara bahkan harus ditutup akibat jarak pandang yang tidak memungkinkan. Kerugian ekonomi akibat kabut asap tersebut diperkirakan mencapai US$ 9 Milyar.

Tidak berhenti disitu saja, di tahun 2005/2006, kebakaran hutan kembali terjadi. Saat itu sekitar 50 ribu Ha hutan dibakar guna pembukaan lahan perkebunan. Kabut asap yang terjadi bahkan mencapai Brunei, Malaysia, Singapore dan bahkan mencapai Thailand Bagian Selatan. Bencana asap yang terjadi berulang-ulang akhirnya memaksa presiden harus meminta maaf pada negara-negara asing dan selanjutnya menghasilkan kesepakatan regional ASEAN guna mengatasi bersama-sama persoalan kabut asap. Disamping melesunya aktivitas perekonomian, meningkatnya jumlah penderita penyakit yang disebabkan pencemaran udara, pemerintah juga harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 750 Milyar guna mengatasi kebakaran hutan tersebut.

Sebagai masyarakat Indonesia yang kebetulan menimba ilmu di bidang Kehutanan, saya merasa gerah. Sirkulasi Undang-Undang, Moratorium, perjanjian sana-sini dirasa sudah sangat cukup untuk menghentikan ulah oknum tak bertanggungjawab. Namun nyatanya? Menurut data yang saya dapatkan, tahun ini sebanyak 200 titik api terdeteksi oleh satelit NOAA di daerah Riau. Tak dapat dipungkiri, kelapa sawit yang menjadi bahan baku rumahb tangga diburu hampir seluruh pelosok dunia karena harga mentahnya yang sangat murah. Namun perlu diketahui, pembukaan lahan perkebunan sawit dengan cara pembakaran hutan telah membuat ekosistem menjadi tidak seimbang lagi. Keberadaan hutan sebagai paru-paru dunia, sebagai pabrik kimia alami, sebagai produsen oksigen terbesar, bahkan sebagai tempat tinggal berbagai flora dan fauna tidak dapat digantikan andilnya oleh perkebunan kelapa sawit. Apalagi, beberapa waktu yang lalu, saya mendapati berita bahwa ada orangutan yang lepas ke permukiman penduduk dalam keadaan terluka. Saya menjerit, hati kecil ini teriris mendapati fauna endemik asli Indonesia tersebut kehilangan tempat tinggalnya.

Memang, menulis opini panjang lebar di berbagai surat kabar dan media sosial tidak akan mengurangi titik api atau Hotspot yang terlanjur berkobar di Riau dan Kalimantan. Namun, setidaknya tulisan ini dapat menjadi penghubung pesan saya kepada masyarakat Indonesia di luar sana. Janganlah anda semua memperkarakan semua masalah ini kepada pemerintah semata. Janganlah anda semua berwacana tanpa aksi. Sebab, saudara kita di Riau dan Kalimantan butuh solusi bukan dikasihani. Save Sumatera! Save Kalimantan! Save Hutan Indonesia! (cml)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.