Mahasiswa Kupu-Kupu: Pengaruh Sindrom Hikikomori di Kalangan Mahasiswa Indonesia (?)

Mahasiswa Kupu-Kupu: Pengaruh Sindrom Hikikomori di Kalangan Mahasiswa Indonesia (?)

Oleh: Hera Pradhipta Lisdyani*

Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata mahasiswa? Konon katanya, mahasiswa berasal dari dua kata yaitu maha dan siswa, maha berarti besar dan siswa berarti peserta didik. Dari dua kata tersebut munculah pengertian bahwa mahasiswa adalah siswa atau pelajar yang levelnya paling tinggi. Mereka menuntut ilmu di sekolah yang disebut perguruan tinggi dengan harapan mereka dapat menyempurnakan ilmu mereka sehingga dapat menjadi manusia terpelajar yang prima,yang utuh, yang paripurna sebab kelak mereka akan menjadi Agent of  Social Control. Sebagai Agent of  Social Control sudah selayaknya seorang “mahasiswa” aktif dalam kegiatan berorganisasi baik di intern mau ekstern kampus. Lalu bagaimana menanggapi fenomena mahasiswa kupu-kupu? Apakah mahasiswa kupu-kupu adalah bentuk sindrom hikikomori yang melanda mahasiswa di negara kita? Ya, tidak, atau bisa jadi?

Mari kita beranjak ke negara matahari terbit, Nihonkoku atau negara Jepang sebagai negara asal sindrom hikikomori. Di negara asalnya hikikomori ini dikatakan sebagai penyakit sosial di kalangan remaja. Dikutip dari Wikipedia, Hikikomori (引きこもり, ひきこもり, atau 引き籠もり?, arti harfiah: menarik diri, mengurung diri) adalah istilah Jepang untuk fenomena di kalangan remaja atau dewasa muda di Jepang yang menarik diri dan mengurung diri dari kehidupan sosial. Istilah hikikomori merujuk kepada fenomena sosial secara umum sekaligus sebutan untuk orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok sosial ini. Sindrom hikikomori ini biasanya disebabkan oleh banyak faktor, baik itu bersifat intern maupun ekstern. Faktor internnya mungkin karena seseorang memiliki kelainan psikologis yang menyebabkan dirinya cenderung tertutup dan tidak suka bergaul dengan sesamanya, sedangkan faktor ekstern penyebab kenapa seseorang menjadi seorang hikikomori sangat beragam, namun kebanyakan publik menduga bahwa kehilangan figur orang tua yang selalu memberikan kasih sayang kepada anaknya, korban bullying di sekolah, tekanan akademik, hingga godaan video Games Jepang yang sangat menggiurkan menjadi penyebab utama seorang remaja di Jepang menjadi hikikomori.

Image seorang hikikomori di Jepang tidak main-main hanya sekadar seseorang yang memiliki tingkat anti sosial yang tinggi saja. Biasanya mereka menghabiskan waktu mengurung diri di kamar dengan melakukan hoby-hoby mereka seperti online, main games atau nonton DVD. Hikikomori sama sekali tidak mau bersentuhan dengan dunia luar dan hanya sibuk menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri Biasanya mereka tidak mau sekolah atupun bekerja hingga menghabiskan sisa hidupnya hanya di kamar. Lebih lanjut di negara asal sindrom ini berasal kabarnya seseorang yang mengidap sindrom ini pada tingkatan eskrim bahkan dicap sebagai seorang penjahat, karena suka menculik gadis kecil dan disimpan di kamarnya untuk dijadikan “teman” dan mereka akan melepaskan gadis itu ketika mereka mau. Banyak Hikikomori yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dengan alasan hidup sama sekali tidak menyenangkan dan membosankan.

Melihat penjelasan tentang hikikomori diatas, lantas apakah kita bisa menyebut wabah mahasiswa kupu-kupu sebagai bentuk sindrom hikikomori di kalangan mahasiswa Indonesia? Jika kita merujuk pada artian hikikomori secara harfiah, maka mahasiswa kup-kupu dapat digolongkan sebagai bentuk sindrom hikikomori yang ada di tengah mahasiswa Indonesia. Secara harfiah hikikomori tadi berarti menarik diri, ini sesuai dengan image seorang mahasiswa kup-kupu yang selama ini kita tahu. Mahasiswa kup-kupu adalah mahasiswa yang cenderung menarik diri pada kegiatan diluar kegiatan akademik termasuk kegiatan organisasi karena menganggap kegiatan seperti itu hanya akan mengganggu kegiatan akademiknya, padahal kita tahu apa fungsinya berorganisasi bagi seorang mahasiswa, tapi mahasiswa yang termasuk mahasiswa kup-kupu tadi lebih memilih untuk diam di rumah atau di kos untuk belajar, segala sesuatunya selalu diukur dengan pencapaian kredit mata kuliah dan indeks prestasi yang tinggi serta berupaya menyelesaikan kuliah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ada banyak faktor yang menyebabkan seorang mahasiswa memilih menjadi mahasiswa kup-kupu, menurut sebuah survey kecil yang dilakukan penulis dengan menanyai apa pendapat teman-teman disekitar penulis tentang mahasiswa kup-kupu dan pentingnya organisasi, mereka yang memilih untuk fokus di akademik dibandingkan organisasi rata-rata memiliki alasan karena tuntutan orang tua. Mereka tumbuh dengan mindset bahwa kesuksesan itu adalah dengan sukses menghapal materi pelajaran, sukses ujian, mendapat nilai bagus, lulus cepat, dan mendapat predikat cumlaude, tapi mereka tidak diajarkan untuk “cobalah pergi keluar, berbaurlah, masuklah organisasi, dan temukan banyak pengalaman dengan orang-orang baru”. Alasan lain yang disampaikan responden adalah karena mereka tidak menemukan kecocokan dengan pilihan organisasi yang ada, tidak adanya dukungan berupa support fasilitas dari kampus juga menjadi salah satu alasan mereka.

Menjawab pertanyaan terakhir yang dada di bagian awal artikel ini tentang “Apakah mahasiswa kupu-kupu adalah bentuk sindrom hikikomori yang melanda mahasiswa di negara kita? Ya, tidak, atau bisa jadi?” jawabannya adalah bisa jadi. Layaknya sedang bermain Games eat bulaga, kenapa bisa jadi? Karena pandangan tiap orang terhadap sesuatu yang berbeda. Ketika kita berlaku A maka tanggapan orang lain saat kita berlaku B sudah berbeda dengan saat kita berlaku A. Apakah seseorang menganggap fenomena mahasiswa kup-kupu sebagai bentuk sindrom hikikomori itu kembali pada pribadi masing-masing yang menilai, karena pengertian hikikomori sendiri diartikan dari berbagai pandangan yang tentunya dapat menimbulkan berbagai pemahaman, ada yang secara harfiah, ada yang secara tingkah laku pelaku, ada yang menurut pendapat ini dan itu. Tapi mau bagaimanapun itu hikikomori atau tidak, selayaknya untuk menjadi seorang mahasiswa yang paripurna kita harus bisa membagi porsi akademik dan organisasi secara seimbang, karena dua aspek ini sama-sama pentingnya untuk kita.

*Penulis adalah Mahasiswa General Forestry 2013 Fakultas Kehutanan UGM dan #Sosmas #AksiRimbawan

 

Categories: Sosial Masyarakat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.