Riau Dirundung Kabut

Riau Dirundung Kabut

Oleh: Dini Novia Sabila*

Provinsi Riau saat ini tengah menjadi perbincangaan hangat setelah adanya kebakaran hutan. Hutan seluas 1.300 hektar berhasil dihanguskan oleh si jago merah. Alhasil, asap dari pembakaran tersebut melanda Provinsi Riau hingga Sumatera Utara bahkan sampai di Singapura. Beberapa sekolah malah telah memperpanjang masa libur dikarenakan jarak pandang yang pendek dan gangguan pernafasan yang diakibatkan asap tak bisa ditolerir lagi. Penanganan lambat juga semakin memperparah efek seperti peningkatan jumlah penderita ISPA dan menjalarnya kobaran api hingga ke pemukiman warga.

Faktor alam selalu digadang-gadang sebagai pemeran utama alam kebakaran ini. Dimulai dari cuaca panas beserta angin yang bertiup kencang. Masyarakat sekitar hutan yang faktanya lebih menyayangi hutan juga dikambing hitamkan dengan alasan kegiatan masyarakat tidak bertanggung jawab dan sebagainya.

Namun, fakta berkata lain. Seperti yang disampaikan oleh pihak yang berwajib bahwa telah ditetapkan 25 tersangka dalam kasus ini. Beberapa tersangka disinyalir merupakan suruhan dari perusahaan lahan perkebunan yang sengaja membakar hutan untuk memperluas kebun miliknya. Pembakaran hutan ini dipilih karena dengan biaya murah dan tempo waktu yang relative singkat dapat membersihkan lahan baru mereka. Alasan lain,seperti konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit juga dapat dipertimbangkan. Mengingat air yang seharusnya tertampung di lahan gambut mengalir ke tempat lain dan mengakibatkan keringnya lahan gambut. Padahal,lahan gambut sangat rawan terjadi kebakaran.

Jika ditilik lagi ke paragraf diatas, jelas bukan lagi faktor alam yang menjadi biang musibah ini,manusia atau sekumpulan manusialah biangnya.Keuntungan yang didapat oleh perusahaan tidak sebanding dengan kerugian yang dialami masyarakat.  Bukan hanya dalam sektor ekonomi, tapi juga kesehatan dan kenyamanan yang terganggu. Belum lagi nama baik Indonesia tercoreng ,karena negara tetangga mulai protes dengan adanya kiriman asap pengganggu.

Entah bagaimana cara pikir pemerintah terhadap pengeluaran perizinan yang bahkan seperti menutup mata pada akibat yang akan terjadi. Kebakaran hutan seperti ini seharusnya tidak terjadi mengingat banyak universitas di negeri ini banyak melakukan penelitian berwawasan lingkungan dan mencetak ribuan sarjana yang siap untuk berkontribusi dengan mantap. Lalu apa yang terjadi? Apakah universitas gagal mencetak nilai keadilan dan kejujuran pada diri mahasiswa? Atau memang mungkin benar universitaslah yang membesarkan pribadi yang hanya ingin sukses berlimpah uang ketimbang mahasiswa yang cinta tanah air dan seisinya?

Mungkin ini yang paling adil, semua bergantung pada diri masing – masing manusia. Menjadi mahasiswa bijak, yang dapat mengambil hikmah dari tiap masalah mungkin menjadi jalan tengah.

Sampai pada titik kesimpulan, bahwa harus ada kesetaraan dan keadilan hukum dalam setiap kasus apapun. Pengkajian dalam tiap pengeluaran izin, prediksi akan akibat dari tiap izin yang dikeluarkan bisa jadi pelajaran dari musibah ini. Penelitian yang ada di universitas mungkin dapat menjadi acuan solutif, sehingga penelitian bukan cuma menjadi ajang pamer kepintaran namun tak berkelanjutan. Tentu saja, ini semua demi tridharma perguruan tinggi yang telah disepakati sejak awal, bahwa universitas memang harus menerapkan pendidikan, penelitian, dan tentu saja: pengabdian.

Pembagian hak dan kewajiban juga harus jelas, yang bersalah menjalani kewajiban dan yang menjadi korban harus mendapatkan haknya. Dalam kasus ini yang menjadi korban ialah masyarakat dan hutan. Alangkah baiknya jika masyarakat mendapat pengobatan gratis atau penanganan lainnya serta pengembalian hutan pada areal yang telah terbakar.

*Penulis adalah mahasiswa General Forestry 2013 dan staff Media dan Informasi Aksi Rimbawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.