Hari Bumi Bukanlah Sebuah Selebrasi

Hari Bumi Bukanlah Sebuah Selebrasi

OLEH: Aditya Setyawan Putra

Bumi, satu-satunya planet dalam susunan tata surya yang ditinggali oleh makhluk hidup ini tak lama lagi akan dirayakan besar-besaran oleh miliaran cacah jiwa di seluruh dunia. Tepatnya 22 April nanti seluruh penduduk bumi akan merayakan suatu hari yang dinamakan Hari Bumi (Earth Day). Tentunya perayaan Hari Bumi ini tak seramai dan semeriah perayaan HUT Kemerdekaan RI atau hari-hari besar lainnya. Pasalnya, sampai saat ini di Indonesia juga masih banyak yang belum mengetahui tentang Hari Bumi, sehingga Hari Bumi hanya dirayakan oleh sebagian masyarakat saja. Di Hari Bumi ini justru masyarakat biasanya melakukan kegiatan-kegiatan sederhana yang berhubungan dengan pelestarian dan pemberdayaan lingkungan. Banyak sekali macam kegiatan yang dilakukan penduduk bumi dalam mengisi Hari Bumi ini. Dimulai dari aksi di rumah sendiri, yaitu menghemat penggunaan air, lampu, dan listrik. Adapun kegiatan lain yang biasanya diadakan di lingkungan sekitar, seperti program sosialisasi lingkungan, bersih-bersih jalan atau kampung, dan penanaman pohon secara massal. Tak hanya sampai disitu, aksi-aksi unjuk rasa atau demo mengenai kerusakan lingkungan juga turut mewarnai Hari Bumi ini. Unjuk rasa biasanya dilakukan di sepanjang jalan-jalan vital suatu kota, bahkan di depan Istana Presiden sekalipun. Para pengunjuk rasa kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa, kritikus, dan aktivis lingkungan yang fokus betul terhadap kondisi lingkungan dan hubungannya terhadap keberlangsungan hidup makhluk hidup. Aktivitas sosial juga ikut meramaikan kegiatan di Hari Bumi, seperti acara bagi-bagi bunga, sembako, dan pakaian layak pakai; kunjungan ke panti sosial; serta kegiatan lain yang seringkali dilakukan oleh suatu komunitas sosial.

Apapun kegiatannya selama tujuannya baik dan berhubungan dengan Hari Bumi, saya selalu setuju. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah masih adakah keberlanjutan dari serangkaian program lingkungan dan sosial yang telah dibuat? Adakah pula manfaat dalam jangka panjang yang didapatkan setelah sehari, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan mempersiapkan acara untuk Hari Bumi? Ataukah hanya untuk mengisi waktu luang yang kosong dan membuang tenaga saja? Bukannya ingin berprasangka buruk, tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua kegiatan yang telah diadakan untuk menyambut Hari Bumi tidak akan bertahan lama, dan mirisnya hanya sedikit manfaat yang dapat digali dari serangkaian aktivitas yang ada. Semua ini tak ubahnya seperti sebuah selebrasi belaka, yang tujuan aslinya hanya untuk memeriahkan suatu hari khusus tanpa mempertimbangkan manfaat apa saja yang bisa dikaji oleh seluruh masyarakat, yang hanya “hangat” di awal, dan menjadi “dingin” keesokan harinya. Tak lebih dari sekadar acara seremoni, meriah di awal, namun menjadi tak berarti di keesokan hari. Sungguh disayangakan jika acara-acara yang bertujuan baik ini hanya berhenti di tengah jalan, dengan dalih kesibukan rutinitas sehari hari.

Lalu, apa kuncinya agar kita terus menjalankan kegiatan tidak hanya di Hari Bumi saja? Semuanya pasti berasal dari niat. Sejelas dan sekuat-kuatnya rencana kita, jika tidak disertai dengan niatan yang kuat pula, maka tidak akan menghasilkan apapun. Mulailah dari kegiatan yang paling sederhana, tetapi harus dilakukan secara konsisten. Contohnya, dengan menghemat air, lampu, dan listrik terlebih dahulu. Lakukan dengan niat ingin menjadikan lingkungan bumi sebagai rumah kita menjadi lebih baik. Apabila berhasil, lakukanlah aksi yang lebih besar, seperti penanaman pohon massal dan bersih-bersih lingkungan, hingga pada kaliber internasional. Salah satu contohnya dengan mengikuti organisasi lingkungan tingkat global, seperti WWF (World Wildlife Fund); Greenpeace; atau WMO (World Meteorological Organization). Namun, motivasi utama untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan harus tetap dijaga dan jangan sampai digantikan oleh motivasi lain yang malah membawa kita pada kemalasan, yang akhirnya membuat kita hidup seperti dahulu kembali, yang sama sekali tak mempedulikan lingkungan bumi.

Poin selanjutnya, mengapa sih kita dituntut untuk harus konsisten melakukan kegiatan yang biasanya kita lakukan untuk menyambut Hari Bumi? Kalau kita peka terhadap lingkungan, maka seharusnya tidak ada pertanyaan yang demikian. Tentu kita pernah mendengar peristiwa terbakarnya hutan di Kalimantan oleh ulah tangan tak bertanggungjawab yang berakibat banyak satwa hutan tersebut yang kehilangan habitat aslinya. Satwa-satwa tersebutpun mau tidak mau harus mencari tempat tinggal yang layak dihuni mereka. Mereka akhirnya memilih pemukiman penduduk sekitar sebagai tempat tinggal sementara mereka. Namun apa yang terjadi? Para penduduk bukannya merawat mereka, justru menganiaya dan membunuh mereka agar tidak mendekati pemukiman penduduk lagi. Dari sini kita dapat melihat, ujung dari peristiwa itu ada banyak pihak yang merasa dirugikan, mulai dari “penghuni” asli hutan tersebut, hingga warga sekitar hutanpun turut terkena imbasnya. Itu baru salah satu kasus di tempat nan jauh disana. Bagaimana dengan Yogyakarta? Apakah lingkungan di Yogyakarta aman dan baik-baik saja? Rupanya pertanyaan itu malah menjadi sindiran pedas buat penduduk Yogyakarta. Betapa tidak, wajah sungai Code yang merupakan sungai penting di Yogyakarta saja kini buruk seburuk-buruknya. Kondisi sungai yang sekilas nampak seperti selokan raksasa ini penuh dengan limbah rumahtangga dan kotoran lainnya. Saking parahnya, jika kita semakin mendekati sungai Code, akan tercium aroma bau yang kian menyengat lambang rendahnya sanitasi air di sungai ini. Warna air yang kecoklatan dan jauh dari kata bening mengisyaratkan air sungai Code yang tak layak dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari. Meskipun begitu, ada juga beberapa penduduk, terutama yang tinggal di pinggir sungai Code yang masih memakai air sungai Code untuk keperluan mencuci, bahkan untuk makan dan minum. Hal ini sungguh ironis. Di pikiran masyarakat umum, Yogyakarta dikenal sebagai kota besar, memiliki banyak potensi wisata, dan menjadi incaran tujuan wisata para wisatawan, tetapi di sisi lain, Yogyakarta juga menunjukkan rupa buruknya, salah satunya kondisi sungai Code dan masyarakat sekitar sungai Code ini. Setelah mengetahui dua masalah serius di lingkungan kita ini, harapannya kita semua menjadi lebih peka terhadap sesama dan lingkungan, sehingga sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk melestarikan dan menyelamatkan lingkungan sekitar pada khususnya, dan bumi kita pada umumnya.

Jadi, jangan tunggu sampai tanggal 22 April nanti untuk membenahi rumah kita ini. Mulailah dari sekarang dengan melakukan aksi sederhana terlebih dulu, apapun bentuk aksinya. Milikilah niat yang kuat, tulus, dan jagalah itu, niscaya tujuan kita untuk menyelamatkan bumi melalui organisasi internasional akan tercapai. Jadikanlah setiap hari kita sebagai hari untuk bumi, karena Hari Bumi itu tak hanya sekadar selebrasi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.