
MENYOAL SIKAP DPR YANG MEMBAHAS RUU CIPTA KERJA OMNIBUS LAW DITENGAH KRISIS PANDEMI DI INDONESIA
- Post by: admin
- April 14, 2020
- No Comment

Oleh: Respati Bayu Kusuma dan Gery Novrian
DPR sepertinya tidak memiliki kepekaan terhadap rakyat Indonesia. Bagaimana tidak? Dikala krisis pandemi yang sedang melanda bumi pertiwi, DPR tetap melanjutkan pembahasan Omnibus Law. Sebelumnya pada rapat kerja tanggal 23 Maret, selain membahas penanganan Covid-19 yang dalam bahasannya adalah wacana pemotongan gaji untuk membantu penanganan Covid-19, DPR juga mengusulkan untuk melanjutkan pembahasan Omnibus Law cipta kerja. Kemudian, pada tanggal 7 April, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, Baleg akan menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk melihat kesiapan dalam membahas Omnibus Law.[1]
Serikat buruh dan masyarakat sipil pun langsung merespon mengenai rencana pembahasan Omnibus Law. Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan bahwa nasib buruh di tengah pandemi sangat rentan, apalagi angka PHK meningkat. Langkah DPR melanjutkan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja bakal tak terawasi. Selama pandemi ini, tuntutan buruh tak akan tersampaikan secara baik. Serupa dengan KASBI, Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK SPSI), Roy Jinto Ferianto menolak keras sikap pemerintah dan DPR RI yang akan membahas Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, Pemerintah sebaiknya fokus menangani pandemi yang sedang terjadi dan tidak memanfaatkan pandemi untuk memuluskan pengesahan RUU Cipta Kerja Omnibus Law.[2]
Rancangan undang-undang cipta kerja omnibus law menuai banyak kontroversi. Banyak pasal yang dinilai hanya menguntungkan investor semata dan merugikan buruh serta mengabaikan lingkungan. Pasal-pasal bermasalah itu antara lain adalah Pasal 37 angka 3 mengenai perubahan terhadap Pasal 18 UU Kehutanan, Pasal 37 angka 16 mengenai perubahan terhadap Pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 40 angka 13 dan 24 mengenai perubahan terhadap (Pasal 47 ayat (7) dan (8) serta Pasal 83) UU Minerba, Pasal 93 huruf a dan b yang mengubah ketentuan pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[3], Pasal 88 C, serta Pasal 42 Ayat 1 dan lain-lain.[4]
Membahas rancangan undang-undang tanpa partisipasi dari masyarakat merupakan suatu pelanggaran terhadap prinsip demokrasi. Serikat buruh dan masyarakat sipil sudah tegas menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law ini, apalagi membahasnya dalam kondisi pandemi. Akan tetapi, DPR beserta pemerintah tetap saja “ngotot”. Padahal sudah jelas dalam prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat seharusnya dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.[5] Lalu, bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam proses pengambilan keputusan di masa pandemi ini? Ditambah dengan adanya maklumat Polri yang tidak memperbolehkan berkumpul dikeramaian guna mencegah persebaran virus corona. Selain maklumat, juga ada Surat Telegram Polri ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang berdasarkan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan kepada penguasa dalam hal ini presiden dan pejabat pemerintahan, tentunya hal ini mengancam kebebasan dalam berpendapat karena pasal tersebut termasuk pasal karet dan bisa membuat pemerintah semena-mena.[6] Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan kekuasaan yang diperoleh melalui mekanisme demokrasi, karena konsepsi demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang demokratis karena kehendak rakyatlah sebagai landasan legitimasinya.[7] Masyarakat yang dalam kondisi normal dapat menyuarakan pendapatnya secara leluasa melalui berbagai hal seperti kritik, baik kritik secara halus ataupun keras melalui media online, unjuk rasa/demonstrasi, dan lain sebagainya menjadi tidak dapat lagi bebas dalam menyuarakan pendapatnya.
Demokrasi sebagai suatu gagasan politik di dalamnya terkandung 5 kriteria, yaitu: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya keputusan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Berdasarkan hal tersebut, menjadi jelas bahwa sikap yang dilakukan DPR ini merupakan sebuah sikap yang tidak mempertimbangkan suara rakyat yang notabene sebagai syarat dalam pelaksanaan demokrasi.[8]
Berkaca pada kondisi pandemi yang sedang berlangsung ini yang mengakibatkan banyak masyarakat kesulitan dalam memenuhi penghidupannya serta angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang besar, maka sikap DPR yang tetap bersikukuh membahas Omnibus Law Cipta Kerja merupakan hal yang menodai perasaan rakyat. Alih-alih segera merealisasikan wacana pemotongan gaji anggota untuk penanganan pandemi Covid-19, DPR malah lebih mementingkan dan melanjutkan pembahasan rancangan undang-undang cipta kerja. Maka, menjadi wajar jika banyak kalangan masyarakat yang marah atas hal tersebut
DPR yang merupakan wakil rakyat, nyatanya tidak mendengarkan suara masyarakat sipil. Mendorong peningkatan investasi dengan menyederhanakan regulasi dan perijinan jika tak ditempuh bersamaan dengan harmonisasi UU sektoral sama saja dengan menambah potensi konflik dan ketakadilan dalam akses terhadap penguasaan dan pemanfaatan SDA bagi kelompok di luar korporasi, serta berpotensi terhadap eksplorasi SDA yang memperparah kerusakan lingkungan sehingga RUU Cipta Kerja nantinya dapat menimbulkan masalah dari segi teoritis dan potensi implementasinya.[9] Poin pentingnya adalah apakah DPR lupa bahwa mereka dipilih untuk rakyat untuk menghadirkan kebijakan yang baik, kebijakan yang memberi kemaslahatan bersama, bukannya kebijakan yang hanya mementingkan sebagian golongan saja.
REFERENSI
Alfian Putra. 2020. Indonesia Butuh Corona Kelar Bukan Aturan Hina Presidan dan
Pejabat. Diakses pada 8 April 2020 dari https://tirto.id/indonesia-butuh-corona
kelar-bukan-aturan hina-presiden-pejabat-eLyo.
Asshiddiqie, J., & Tarmizi. (2010). Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Sinar
Grafika
Cantika Adinda. 2020. Diajak DPR Bahas Omnibus Law Serikat Buruh Kami
Menolak Diakses pada 8 April 2020 dari
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200407102531-4-150226/diajak
dpr-bahas-omnibus-law-serikat-buruh-kami-menolak.
Dahl, R. A. (1985). Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol
(terjemahan Sahat Simamora). Jakarta: Rajawali Press
Icel.or.id (13 Februari 2020) CATATAN ATAS RUU CIPTA KERJA. Diakses pada 8
April 2020 dari https://icel.or.id/wp-content/uploads/sites/1498/CATATAN-ATAS-RUU-
CIPTA-KERJA-ICEL-13.02.20.pdf
Kompas.com (2020, 11 Maret). Pasal Kontroversi di Omnibus Law Kemudahan Rekrut
Tenaga Kerja Asing. Diakses pada 8 April 2020 dari
https://money.kompas.com/read/2020/03/11/142726526/pasal-kontroversi-di
omnibus-law-kemudahan-rekrut-tenaga-kerja-asing.
Kumparan.com. Tikaman Omnibus Law di Tengah Pandemi Corona. Diakses pada 8
April 2020 dari https://kumparan.com/kumparannews/tikaman-omnibus-law-di-
tengah-pandemi-corona-1tBNjBDG0pU
Maria SW. 2020. Mendorong Peningkatan Investasi Dalam Disharmoni Pengaturan
SumberDaya Alam (SDA) di Indonesia: Catatan untuk RUU Cipta Kerja.
Presentasi padaSeminar Dies FH UGM “Peluang dan Tantangan Menuju
Omnibus Law di Indonesia”, Yogyakarta, 13 Februari 2020
Muntoha, A. (2009). Demokrasi Dan Negara Hukum. Ius Quia Iustum Law
Journal, 16(3), 379-395.
Tempo Nasional. Aturan Omnibus Law Cipta Kerja yang Dianggap rugikan pekerja.
Diakses pada 8 April 2020 dari https://nasional.tempo.co/read/1307814/5
aturan-omnibus-law-cipta-kerja-yang-dianggap-rugikan-pekerja
[1] Cantika Adinda. Diajak DPR Bahas Omnibus Law Serikat Buruh Menolak. 2020. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200407102531-4-150226/diajak-dpr-bahas omnibus-law-serikat-buruh-kami-menolak.
[2] Kumparan. Com. Tikaman Omnibus Law di Tengah Pandemi Corona. 2020. Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/tikaman-omnibus-law-di-tengah-pandemi-corona-1tBNjBDG0pU
[3] Icel.or.id. CATATAN ATAS RUU CIPTA KERJA. 2020. Diakses dari https://icel.or.id/wp content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-13.02.20.pdf
[4] Kompas.com. Pasal Kontroversi di Omnibus Law Kemudahan Rekrut Tenaga Kerja Asing. 2020. Diakses dari https://money.kompas.com/read/2020/03/11/142726526/pasal-kontroversi-di-omnibus-law-kemudahan-rekrut-tenaga-kerja-asing. Dan Tempo Nasional. Aturan Omnibus Law Cipta Kerja yang Dianggap rugikan pekerja. Diakses pada 8 April 2020 dari https://nasional.tempo.co/read/1307814/5-aturan-omnibus-law-cipta-kerja-yang-dianggap-rugikan-pekerja
[5] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 152 – 162.
[6] Alfian Putra. Indonesia Butuh Corona Kelar Bukan Aturan Hina Presidan dan Pejabat. 2020 Diakses dari https://tirto.id/indonesia-butuh-corona-kelar-bukan-aturan hina-presiden-pejabat-eLyo.
[7] Muntoha, A. Demokrasi Dan Negara Hukum. Ius Quia Iustum Law Journal. 2009 Edisi 16 Vol (3), Hlm 379-395.
[8] Dahl, R. A. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (terjemahan Sahat Simamora), Rajawali Press, Jakarta, 1985
[9] Maria SW. Mendorong Peningkatan Investasi Dalam Disharmoni Pengaturan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia: Catatan untuk RUU Cipta Kerja. Presentasi pada Seminar Dies FH UGM “Peluang dan Tantangan Menuju Omnibus Law di Indonesia”, Yogyakarta, 2020