Archives

Problematika Limbah Masker saat Pandemi

Permasalahan limbah medis dari masker sekali pakai dan APD yang semakin besar menjadi salah satu problematika di saat pandemi. Kondisi ini mendorong pula bertambahnya kuantitas limbah medis. Apalagi peningkatan volume limbah medis sudah mencapai 30-50% ton per harinya. Tidak hanya di Indonesia, berbagai negara di Asia juga mengalami hal yang sama.

Penanganan limbah medis dinilai sangat mengkhawatirkan, terutama di saat pandemi Covid-19, yang harus menjadi perhatian khusus. Karena dinilai menjadi mata rantai penularan penyakit tersebut. Sejumlah cara dapat dilakukan dalam pencegahan, seperti pemilahan limbah medis dengan rumah tangga dan penggunaan APD bagi para petugas pengumpul limbah. Strategi pengolahan limbah B3 menjadi solusi penting untuk menekan penyebaran Covid – 19 melalui limbah medis. Berikut langkah pengeloaan limbah B3 di masa pandemi:

1. Petugas pengumpul limbah harus dilengkapi dengan APD
2. Kendaraan tertutup rapat dan terpisah dengan kabin supir
3. Pemilahan limbah medis dan rumah tangga
4. Sterilisasi limbah sebelum ke tempat pembuangan
5. Memastikan perjalanan limbah medis RS & rumah tangga ke pembuangan
6. Kolaborasi dengan industri lain dalam mengolah limbah medis.

Pemerintah menghimbau untuk memakai masker kain bagi warga yang sehat. KLHK mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan tempat pembuangan masker di ruang
publik.

Sampah ini mempunyai efek yang sangat dikawatirkan, kerena tidak hanya berdampak secara langsung namun juga mempunyai dampak jangka panjang. Karekter/sifat sampah anorganik sangat sulit terurai bahkan dalam jangka waktu puluhan hingga ratusan tahun kedepan. Sampah memiliki banyak masalah baik dampak langsung kemanusia maupun di lingkungan, masalah ini bisa diminimalisir dengan menjaga dan mengelola sampah serta
melestarikan lingkungan. Tentunya hal ini bisa terwujud jika semua pihak sadar dan bertindak bersama-sama. Himbauan sejumlah organisasi daur ulang telah mendesak orang-orang untuk membuang masker dan sarung tangan dengan aman di tempat sampah umum.

Suherman, Ph.D. seorang pakar lingkungan UGM mengingatkan “Karakteristik masker yang terbuat dari bahan utama fiber atau kertas membuat pelindung mulut itu harus segera dibuang setelah digunakan”. Bisa dibayangkan, berapa juta sampah masker yang ada di lingkungan sekitar mengingat prediksi pandemi ini masih akan dihadapi selama beberapa waktu ke depan dan mempertimbangkan 270 juta penduduk Indonesia yang membutuhkan
perlindungan sebab itu masker bekas merupakan sampah non daur ulang sehingga harus dibuang atau diolah di tempat pengelolaan sampah. Maka pengolahannya diperlukan metode khusus seperti insenerator atau pirolisis.

Read More

MEMBAHAS URGENSI PENDIDIKAN KEHUTANAN DI INDONESIA

Oleh : Raihanah N Purnawan

Indonesia sudah dikenal oleh dunia sebagai negara maritim, karena jumlah pantai dan terumbu karang sangat banyak. Menurut penulis artikel Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP) Elviana Roza, Indonesia memiliki 17.499 pulau dari Sabang hingga Merauke. Luas total wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km2 yang terdiri dari 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Merupakan suatu Negara dengan luas perairan lebih besar dari pada luas daratan, Tidak hanya itu, Indonesia memiliki keindahan dan kekayaan alam hayati dan non hayati, didalamnya terdapat jumlah spesies flora dan fauna yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia meliputi kekayaaan bawah laut, hutan yang luas sehingga oksigen yang tersedia cukup banyak, hasil pertambangan berlimpah dan berkualitas, banyak pula jenis tanaman dan hewan langka terdapat di Indonesia, dan juga jumlah air berlimpah. read more

Read More

DAMPAK COVID-19 TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN DAN ALAM

Oleh : Gery Novrian

COVID-19 atau Corona Virus Disease 19 yang disebabkan oleh virus corona kini telah dinyatakan sebagai pandemi global yang telah melanda sebagian besar negara di dunia. Dalam hitungan bulan Virus Corona telah mengubah gaya dan cara hidup serta kondisi masyarakat di dunia, Virus yang awalnya ini hanya muncul di China kini wabah ini telah meluas hingga menjangkit benua yang ada di dunia dan telah menelan ribuan korban jiwa dan membuat ratusan ribu lainnya harus terbaring di rumah sakit sungguh menjadi duka bagi dunia. Tentunya pandemi ini menimbulkan dampak yang sangat besar dalam dunia global dan mempengaruhi sejumlah aspek. Mulai dari aspek ekonomi dimana kegiatan perekonomian di belahan mengalami penurunan yang drastis hingga roda perekonomian hamper terhenti dan tidak berjalan seperti biasanya serta beberapa aspek lainnya seperti sosial, edukasi, lingkungan maupun mempengaruhi kondisi alam. read more

Read More

MENYOAL SIKAP DPR YANG MEMBAHAS RUU CIPTA KERJA OMNIBUS LAW DITENGAH KRISIS PANDEMI DI INDONESIA

ilustrasi: freepik

Oleh: Respati Bayu Kusuma dan Gery Novrian

DPR sepertinya tidak memiliki kepekaan terhadap rakyat Indonesia. Bagaimana tidak? Dikala krisis pandemi yang sedang melanda bumi pertiwi, DPR tetap melanjutkan pembahasan Omnibus Law. Sebelumnya pada rapat kerja tanggal 23 Maret, selain membahas penanganan Covid-19 yang dalam bahasannya adalah wacana pemotongan gaji untuk membantu penanganan Covid-19, DPR juga mengusulkan untuk melanjutkan pembahasan Omnibus Law cipta kerja. Kemudian, pada tanggal 7 April, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, Baleg akan menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk melihat kesiapan dalam membahas Omnibus Law.[1] read more

Read More

Pro dan Kontra Perilaku Masyarakat Adat terhadap Kelestarian Hutan Adat di Indonesia (Hutan Adat Wonosadi Gunung Kidul)

Pro dan Kontra Perilaku Masyarakat Adat terhadap Kelestarian Hutan Adat di Indonesia
Hutan Adat Wonosadi Gunung Kidul

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting keberadaan dan kelestariannya bagi dunia. Menjaga keberlanjutan dan kelestarian hutan di Indonesia merupakan kewajiban bagi negara yang memiliki wilayah hutan yang luas termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri hutan dibagi menjadi beberapa menurut fungsinya, perbedaan tersebut juga menyebabkan perbedaan pada cara pengelolaannya. Keberadaan hutan di Indonesia sendiri sekarang ini bisa dibilang cukup menyedihkan dengan adanya degradasi, kebakaran, dan konversi lahan akibat pihak yang tidak bertanggung jawab. Hutan yang ada di Indonesia biasanya dikelola oleh pihak pemerintah Indonesia, akan tetapi ada hutan yang memiliki hak khusus untuk dikelola masyarakat, yaitu hutan adat. Hutan adat yang dikelola oleh masyarakat sekitar diyakini akan terjaga kelestariannya, namun ada fakta yang menyatakan masyarakat adat juga ikut andil dalam kerusakan hutan adat.
Jumlah hutan adat di Indonesia pada dasarnya cukup tinggi dan beberapa ternyata masih terjaga kelestariannya, salah satunya yang ada di Hutan Wonosadi di Desa beji Kabupaten Gunungkidul. Hutan Wonosadi sendiri sudah pernah mengalami kerusakan berat pada tahun 1964 hingga 1996, hingga terjadi banjir kerikil, erosi, dan sumber mata air yang mati, padahal kondisi sebelumnya sangat rimbun dan subur. Kerusakan hutan wonosadi tersebut ternyata mengakibatakan kesengsaraan bagi masyarakat, sehingga perbaikan hutan dilakukan dengan membentuk kelompok Ngudi Lestari untuk mengembalikan kondisi hutan seperti semula. Penghijauan kembali di hutan wonosadi diprakarsai oleh Lurah Desa Beji dan Pamong Desa Beji, Para tokoh masyarakat Beji, Dinas Instansi terkait, dan Didukung oleh masyarakat semua. Tujuan dari penghijauan kembali tersebut adalah hutan untuk masyarakat sekarang maupun generasi yang akan datang, terjaganya keseimbangan ekosistem pri kehidupan, mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, tercukupi kebutuhan air bersih untuk rumah tangga dan kebutuhan pertanian, perkebunan dan perikanan, untuk pelestarian kehidupan flora (tumbuhan), fauna (hewan) hidup dengan bebas, dan sebagai museum hidup demi anak cucu.
Hutan Wonosadi dibagi menjadi hutan penyangga seluas 25 Ha dan hutan inti yang dibiarkan tanpa ada aktivitas kecuali untuk ritual adat. Masyarakat desa Beji memiliki kelompok pengelola Hutan Adat yang diberi nama Baladewi, yang hebatnya mereka memiliki semboyan Rumongso Handarbeni,wajib Hangrungkepi, Mulat Sarira Hangrosowani, artinya merasa memiliki, saling menjaga dan melindungi, harus berani mempertahankan bila ada yang mengusik. Selain memiliki semboyan tersebut,kelompok Baladewei ini memiliki program demi mennjaga kelestarian hutan adat, yaitu program jagawana, keanekaragaman tanaman kehati, ekowisata pokdarwis, dan kebudayaan ngluri seni.
Keberhasilan masyarakat desa Beji dalam mengelola kelestaria hutan adat dapat terjadi karena masyarakat dapat mendidik agar generasi muda juga ikut melestarikan hutan. Cara yang telah dilakukan adalah dengan memberi pembekalan untuk pelajar tentang pelestarian hutan. Selain itu kebanyakan para pemuda di desa tersebut mengikuti jejak-jejak orang tua yang melestarikan hutan. Sedangkan cara yang dilakukan untuk menjaga hutan dari kerusakan adalah dengan membuat kesepakatan bahwa bagian hutan inti tidak boleh disentuh sama sekali. Jika ada yang mengotak-atik hutan inti akan diberikan denda. Masyarakat sendiri pada dasarnya tidak ada yang berani menyentuh area tersebut karena banyak cerita tentang kesakralan Hutan Wonosadi, dimana banyak kejadian yang sulit dijelaskan oleh logika jika ada yang berbuat buruk di hutan tersebut. Hutan adat wonosadi yang harus dijaga keberadaannya membuat masyarakat tidak boleh memanfaatkan hasil hutan kayu, tetapi sebagai gantinya mereka memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, air untuk pertanian, dan buah-buahan. Selain itu di dalam hutan wonosadi sendiri masih ada binatang liar, seperti macan kumbang dan macan tutul,yang membuktikan bahwa hutan tersebut masih sangat lestari.
Secara garis besar kelestarian hutan adat dapat diwujudkan melalui kearifan lokal masyarakat, yang tercipta karena adanya rasa peduli dan memiliki hutan tersebut. Seeperti yang terjadi di hutan adat wonosadi dimana masyarakatnya telah membuat hukum adat berdasar kesepakatan bersama bahwa hutan tersebut tidak boleh dirusak dengan alasan apapun, meskipun tentang batas wilayah hutan masih menjadi polemik sendiri. Batas wilayah hutan adat wonosadi tidak ditentukan sendiri oleh masyarakat tetapi ada intervensi pemerintah disana, akan tetapi kepedulian pemerintah akan hutan adat tersebut cukup tinggi dengan disediakannya APBD sebesar 198 juta setiap tahunnya. Masyarakat sekitar hutan adat Wonosadi sebenarnya dapat dikatakan memiliki tambang emas yang sangat berharga. Oleh karena itu mereka berharap mahasiswa khususnya para rimbawan dapat membantu mereka untuk mengembangkan hutan adat tersebut sehingga dapat menguntungkan secara ekonomi dengan mengembangkan ekowisata. Sebab masyarakat desa beji masih hidup dalam kemiskinan dmei menjaga kelestarian hutan, bagi mereka hutan yang lestari bukan hanya untuk mereka saat ini tapi bagi seluruh masyarakat dan seluruh generasi.(Nin) read more

Read More