Wanita Jawa

Wanita Jawa

Wanita Jawa

Sebelumnya, perkenankan saya mengucapkan Selamat Hari Perempuan Internasional kepada seluruh perempuan di dunia, juga di Jawa yang masih bagian dari dunia.

Saya merasa masyarakat Jawa merupakan contoh masyarakat yang memiliki pembatasan dalam hubungan gender. Relasi tersebut menunjukkan kedudukan dan peran laki-laki yang cenderung lebih dominan dibanding perempuan.

Perempuan atau wanita, istilah wanita itu sendiri menurut bahasa Jawa berarti wani ditata (berani diatur). Pengertian ini memperlihatkan adanya perempuan Jawa yang pasif dan menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada laki-laki. Selain itu istilah pingitan yang diberlakukan kepada perempuan yang akan menikah, dirasa sebagai persoalan yang berhulu dari gender.

Lalu setelah pingitan, istilah kanca wingking yang sering muncul seusai perkawinan menunjukkan perempuan adalah teman di dapur yang akan mewarnai kehidupan perkawinan. Hal tersebut menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. Seolah mereka hanya bisa berkarya melalui dapur dan preparatnya.

Diluar istilah-istilah tersebut, bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati yakni perempuan yang tampak lembut nan anggun dan berperan baik sebagai ibu maupun istri, di dapur pun juga di tempat tidur. Hanya sebatas di bagian rumah itu saja, dapur dan bilik tidur.

Namun

Perempuan Jawa bukannya tidak memiliki wewenang mengatur diri mereka. Hanya saja mereka mencoba mencari cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa merusak tatanan adat yang telah dibangun oleh tempat mereka lahir. Oleh karenanya pengabdian sepenuh hidup perempuan Jawa ditinjau sebagai strategi diplomasi untuk sedikit demi sedikit mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapan mereka.

Jadi dalam garis yang terlihat, mereka tidak berpengaruh secara langsung. Namun secara buta, pengaruh mereka sangat besar. Tunggu saja, lama kelamaan suami yang akan tergantung kepada istrinya terutama secara naluri dan emosi. Tepat pada posisi seperti inilah perempuan Jawa akan banyak menentukan keputusan melalui suaminya.

Jadi, jangan sangkal peran besar perempuan Jawa yang telihat halus, santun, dan bahkan terkesan anteng (diam). Siapa sangka, tanpa sadar keputusan yang telah ditetapkan pemimpin kita (siapapun dia) karena pengaruh perempuan di kehidupannya. Entah atas dasar apa saya lebih suka pepatah yang mengatakan istri sebagai sigaraning nyawa, bukan sekedar konco wingking. Karena sigaraning nyawa terkesan memberikan gambaran posisi yang lebih sejajar dan saling membutuhkan.

Ingat wanitaku, kita saling membutuhkan. Sekian.

Oleh : Faisal Nur A.
-LEM FKT UGM 2016-
#Juang
#SiapSemangat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.